Liputan6.com, Jakarta PT PLN (Persero) ingin mendapatkan keistimewaan harga batu bara, yang digunakan sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Hal ini untuk menekan Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik, seiring kebijakan pemerintah yang tak akan menaikkan tarif listrik.
Direktur Pengadaan Strategis I PLN, Nicke Widyawati mengatakan, skema harga batu bara yang diberikan ke PLN saat ini sama dengan harga batu bara yang diekspor. Padahal, batu bara yang dibeli PLN untuk kebutuhan pembangkit.
Advertisement
Baca Juga
"Kalau sekarang kan enggak ada bedanya dengan yang untuk ekspor. Namanya DMO (Domestic Market Obligation) harusnya berbeda, kan untuk infrastruktur ketenagalistrikan," kata dia di Jakarta, Rabu (30/8/2017).
Menurut Nicke, PLN telah mengusulkan ke pemerintah untuk mendapat keistimewaan harga, dengan pengenaan harga berdasarkan mekanisme cost plus fee, bukan sesuai dengan harga pasar seperti saat ini.
"Maksudnya cost plus fee. Kami mengusulkan dan memohon supaya DMO itu berbeda, jangan mengikuti harga pasar," jelas dia.
PLN perlu mendapat keistimewaan harga batu bara sebagai langkah menekan BPP listrik. Apalagi PLN tidak boleh lagi menaikan tarif listrik oleh pemerintah.
"Dengan cost plus fee tidak ada yang dirugikan, tapi juga tidak membuat BPP naik berlebihan. Sekarang tarif kita enggak boleh naik sementara harga batu bara naik terus," papar dia.
Berdasarkan data PLN, harga acuan batu bara naik pada tahun ini dari tahun lalu mencapai US$ 61,8. Harga tersebut membentuk BPP Rp 1.265 per kilo Watt hour (kWh). Sedangkan harga acuan batubara kuartal II 2017 US$ 82,2 per ton, menjadikan BPP menjadi Rp 1.283 per kWh.
Tarif Listrik Tak Naik
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pemerintah tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), elpiji ukuran 3 kilogram (kg), dan tarif dasar listrik pada tahun depan.
Rencana kebijakan tersebut sesuai dengan alokasi anggaran subsidi energi sebesar Rp 103,4 triliun di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018.
"Tidak ada kenaikan harga BBM, elpiji, dan tarif listrik di 2018. Jumlah pelanggan listrik golongan 900 volt ampere (VA) yang disubsidi akan dibatasi," kata Sri Mulyani saat Konferensi Pers RAPBN 2018 di kantornya, Jakarta, Senin (21/8/2017).
Sri Mulyani menyebut, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi energi sebesar Rp 103,4 triliun di RAPBN 2018. Anggaran tersebut untuk subsidi BBM dan elpiji 3 kg sebesar Rp 51,1 triliun dan subsidi listrik Rp 52,2 triliun.
"Kebijakan subsidi energi meliputi perbaikan penyaluran untuk memperbaiki ketepatan sasaran. Subsidi tertutup untuk elpiji ukuran 3 kg, dan subsidi tepat sasaran untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA," terangnya.
Asal tahu, dari Nota Keuangan dan RAPBN 2018 dijelaskan, anggaran subsidi energi yang diperkirakan Rp 103,4 triliun di RAPBN 2018, naik Rp 13,54 triliun dibanding outlook 2017 yang sebesar Rp 89,86 triliun.
Peningkatan anggaran subsidi BBM dan elpiji dipengaruhi oleh perubahan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat semula Rp 13.400 pada 2017 menjadi Rp 13.500 di 2018. Selain itu, perubahan tersebut dipengaruhi oleh volume konsumsi BBM bersubsidi dan elpiji, yaitu:
Pertama, peningkatan volume BBM bersubsidi semula 16.110 ribu kiloliter (kl) pada 2017 menjadi 16.770 ribu (kl) pada 2018. Kedua, peningkatan volume elpiji 3 kg semula 6.199 juta kg pada 2017 menjadi 6.385 juta kg pada 2018.
Sementara, peningkatan anggaran subsidi listrik tersebut terutama dipengaruhi oleh perubahan asumsi nilai tukar rupiah. "RAPBN 2018 akan dibahas dengan DPR mulai September, Oktober, November 2017 dan kemudian untuk disahkan menjadi UU APBN 2018," jelas Sri Mulyani.
Tonton video menarik berikut ini:
Advertisement