Ekonom: Jasa Marga Harusnya Bayar Biaya Isi Ulang Uang Elektronik

Ekonom menilai, seharusnya biaya top up e-money atau uang elektronik tidak dikenakan ke masyarakat, dalam hal ini konsumen.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 20 Sep 2017, 10:00 WIB
Diterbitkan 20 Sep 2017, 10:00 WIB
Bayar Tol Tak Bisa Pakai Uang Tunai Mulai Tahun Ini
Suasana arus lalu lintas di area gerbang tol Semanggi 2, Jakarta, Selasa (14/3). Pembayaran gerbang tol nontunai atau secara elektronik tersebut ditergatkan rampung pada akhir 2017. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) memastikan akan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang berisi soal ketentuan top up e-money atau biaya isi ulang uang elektronik. Diperkirakan aturan ini keluar dalam waktu dekat.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengungkapkan seharusnya biaya top up e-money tersebut tidak dikenai ke masyarakat, dalam hal ini sebagai konsumen.

Dia menuturkan, selama ini dengan digencarkannya elektronifikasi di berbagai pembayaran, ada beberapa pihak yang diuntungkan. Seperti di jalan tol, maka operator jalan tol-lah yang diuntungkan, layaknya PT Jasa Marga (Persero) Tbk.

Bagi Bima, seharusnya pihak yang diuntungkan itulah yang menanggung biaya top up e-money tersebut atau bisa dengan cara kerja sama investasi dan maintenance.

"Iya, harus ada sharing biaya antara merchant, dalam hal ini Jasa Marga dan bank penerbit e-money. Bukan malah dibebankan ke konsumen," kata Bima kepada Liputan6.com, Rabu (20/9/2017).

Dengan adanya elektronifikasi di jalan tol beberapa keuntungan yang diterima Jasa Marga. Bima menuturkan, mulai dari efisiensi biaya penggunaan petugas tol, efisiensi operasional, hingga efisiensi administrasi.

Apa yang dikatakannya tersebut seperti yang dilakukan penerbit uang elektronik Octopus Card di Hong Kong. Biaya maintenance mesin EDC dan investasi infrastruktur ditanggung perusahaan penerbit kartu dan operator jasa transportasi publik.

Bahkan, Bima mengatakan, dengan berbagi biaya tersebut, konsumen bisa dapat potongan harga. Insentif ini yang membuat 95 persen penduduk Hong Kong pakai Octopus Card.

"Kita rasio e-money terhadap uang cash baru 1,14 persen. Jadi kalau dibebankan ke konsumen nanti malah kembali lagi pakai uang cash," tutur Bima. (Yas)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Pengguna E-Money Semakin Banyak, Bank Bakal Untung

Bank Indonesia (BI) mengakui, saat ini perbankan masih belum untung dari penjualan uang elektronik (e-money). Namun, hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mendukung upaya Grakan Nasional Non Tunai (GNNT).

Kepala Pusat Program Transformasi Bank Indonesia (PPTBI) Onny Widjanarko mengungkapkan, saat ini jumlah masyarakat yang menggunakan e-money masih kecil. Hal inilah yang menjadikan biaya pemeliharaan uang elektronik tersebut cukup besar.

"Kalau volumenya dan saldonya kecil biayanya besar, tapi nanti semakin tumbuh, semakin banyak pengguna e-money, ada titik di mana ini akan berbalik untung," kata Onny di Gedung Bank Indonesia, Selasa, 19 September 2017.

Oleh karena itu, saat ini Bank Indonesia meninjau ulang terkait tarif mengenai pengelolaan e-money tersebut. Diharapkan dengan rencana ada aturan yang memungkinkan perbankan bisa mengenakan biaya top up e-money dapat sedikit memberi insentif.

Pengenaan biaya top up uang elektronik ini juga bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan inovasi bagi perbankan yang selama ini menerbitkan e-money.

"Jika nantinya pengguna e-money ini sudah banyak dan bank sudah untung, maka sama juga, kita kembali akan melakukan peninjauan tarif lagi, karena pasti sudah efisien," ujar Onny.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya