Tolak Uang Elektronik, Buruh Akan Demo Bulan Depan

KSPI menolak Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), salah satunya penggunaan uang elektronik di gardu tol. Buruh bakal gelar demo pada 7 Oktober

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 21 Sep 2017, 17:39 WIB
Diterbitkan 21 Sep 2017, 17:39 WIB
Uang elektronik yang diterbitkan oleh PT Bank Mandiri Tbk. (Ilyas/Liputan6.com)
Uang elektronik yang diterbitkan oleh PT Bank Mandiri Tbk. (Ilyas/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), uang elektronik, dan Gardu Tol Otomatis (GTO). Kebijakan ini dinilai merugikan pekerja dan masyarakat karena bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan, transaksi melalui Gardu Tol Otomatis (GTO) hanya dapat dilakukan pengguna jalan yang memiliki kartu elektronik tol (e-Toll Card). Padahal, fitur e-Toll hanya bersifat sebagai pengganti uang tunai dan bukan merupakan alat pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam UU Mata Uang.

“Pemerintah dan lembaganya tidak boleh menolak mata uang rupiah. Kita hanya mengenal uang kertas dan uang logam, tidak ada uang elektronik," katanya dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (21/9/2017).

"Karena itu kami berpendapat, jika ada yang menolak uang kertas atau logam, maka hal itu adalah pidana. Termasuk jika pengelola jalan tol menolak uang kertas atau logam,” tegas Said.

Said lebih jauh mengatakan, kerugian yang akan dialami masyarakat dengan uang elektronik, apabila kartu tersebut hilang, maka sejumlah uang yang ada di dalamnya juga akan ikut lenyap.

“Misal dalam kartu ada Rp 100 ribu, maka ketika kartu hilang, uangnya akan ikut hilang. Berbeda kalau memegang uang kertas Rp 20 ribu sebanyak 5 lembar. Jika hilang 1 lembar, maka masih ada Rp 80 ribu,” dia mencontohkan.

Belum lagi, sambungnya, bila menyimpan uang di bank, seharusnya ada bunga yang diperoleh. Katakanlah bunga deposito sebesar 9 persen, maka jika mengisi kartu sebesar Rp 100 ribu, seharusnya akan menjadi Rp 109 ribu.

"Tapi jangankan diberi tambahan, yang ada uang kita akan terpotong karena ada pungutan biaya untuk setiap kali top up (isi ulang)," jelas Said.

Kondisi ini diperparah dengan kebijakan GTO yang dipaksakan. Menurut Said, akan ada 20 ribu pekerja di jalan tol yang berasal dari Jasa Marga, Citra Marga, JLJ, JLO, dan lainnya yang terancam akan kehilangan pekerjaan.

Oleh karenanya, KSPI dan buruh Indonesia akan melakukan perlawanan dengan melakukan Gerakan Nasional Tolak Uang Elektronik.

“Buruh akan melakukan penolakan. Kami akan melakukan aksi besar-besaran pada 7 Oktober 2017 untuk menyuarakan isu jaminan kesehatan, tolak upah murah, dan menolak GTO. Aksi ini akan dilakukan bergelombang pada Oktober, November, dan Desember. Jika aspirasi dan tuntutan ini diabaikan, akan ada mogok nasional pekerja jalan tol," tegas Said.

Terpisah, Presiden ASPEK Indonesia, Mirah Sumirat mengingatkan masyarakat untuk kritis karena pemilik dan pengguna kartu e-Toll, tanpa sadar sesungguhnya telah diambil paksa uangnya oleh pihak pengelola jalan tol dan bank yang menerbitkan kartu e-Toll.

"Kalau masyarakat membeli kartu e-Toll seharga Rp 50 ribu, sesungguhnya hanya mendapatkan saldo sebesar Rp 30 ribu. Ke mana selisih uang yang Rp 20 ribu?” jelas dia.

Lanjut Mirah, ditambah lagi dengan dana saldo e-Toll yang mengendap di bank karena tidak digunakan pemilik kartu, dan kemudian dapat diputar oleh bank untuk kepentingan bisnisnya.

“Bayangkan, berapa triliun rupiah dana masyarakat yang akan diambil paksa dari sistem 10 persen GNNT dan GTO ini?” ucapnya.

Dia menilai, bukan tidak mungkin GNNT akan menyasar pada transaksi kebutuhan dasar masyarakat yang lainnya, seperti pembelian bahan bakar minyak (BBM).

Bisa saja PT Pertamina mewajibkan pembelian BBM hanya dengan nontunai. Tidak saja pengemudi mobil, tapi juga akan berdampak langsung pada pengendara motor yang jumlahnya mencapai puluhan juta orang.

"Pengendara motor yang selama ini bisa membeli bensin secukupnya dengan uang tunai Rp 10 ribu, harus dipaksa setor dan mengendapkan dananya di bank untuk keuntungan pihak bank," tegasnya.

"Hal ini merupakan praktik bisnis ala kompeni. Masyarakat dipaksa untuk setor dana ke perusahaan seperti layaknya upeti di zaman penjajahan," Mirah mengatakan.

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya