Surat Kabar Wall Street Journal Tutup Edisi Cetak Eropa dan Asia

Akibat tergilas persaingan teknologi, Wall Street Journal akan melakukan perubahan gaya bisnis.

oleh Vina A Muliana diperbarui 29 Sep 2017, 11:30 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2017, 11:30 WIB
Surat kabar Wall Street Journal (foto: the guardian)
Surat kabar Wall Street Journal (foto: the guardian)

Liputan6.com, Jakarta Satu lagi surat kabar internasional yang memutuskan tutup akibat persaingan era digital. Adalah surat kabar Wall Street Journal yang mengumumkan keputusan untuk berhenti mencetak edisi Eropa dan Asia. Hal ini akibat pendapatan iklan yang makin menurun.

Dilansir dari theguardian, Jumat (29/9/2017), edisi terakhir Wall Street Journal di Eropa terbit pada Jumat ini (29/9/2017). Sementara edisi cetak terakhir di Asia akan dirilis satu minggu setelahnya.

Alih-alih menutup perusahaan secara total, Wall Street Journal akan melakukan perubahan gaya bisnis. Mulai tahun lalu, Wall Street Journal lebih menyesuaikan dengan selera pembaca dengan mempermudah akses berita lewat ponsel.

Rencana yang disebut sebagai WSJ 2020 tersebut juga akan menggabungkan beberapa bagian dari media cetak Wall Street Jorunal. Alhasil, sebagian staf dari perusahaan ini juga harus dirumahkan.

Perusahaan induk media cetak tersebut, News Corp, melaporkan kerugian sebesar US$ 643 juta untuk tahun fiskal terakhir. Angka ini lebih parah dibanding tahun sebelumnya dimana Wall Street Journal bisa mencetak keuntungan US$ 235 juta.

Edisi cetak Wall Street Journal di Asia terbit pertama kali pada tahun 1976. Sedangkan edisi cetak Eropa meluncur tahun 1983. Surat kabar milik raja media Rupert Murdoch ini menjadi salah satu rujukan informasi bagi pelaku pasar.

Tribune Co, Perusahaan Cetak Pertama yang Menyatakan Bangkrut

Adapun perusahaan media cetak pertama yang menyatakan gulung tikar adalah Tribune Co. yang mengajukan perlindungan kepailitan pada awal Desember 2008.

Sirkulasi dan pendapatan iklan cetak yang terus merosot drastis membuat perusahaan pemilik Chicago Tribune, Los Angeles, Times, dan enam surat kabar lainnya itu--yang berawak 16 ribu karyawan--kemudian memfokuskan bisnis mereka di media online. Tribune Co. lalu mengalami reorganisasi besar-besaran. 

Puncak terpuruknya media cetak karena digerus era digital adalah pada 2009. Di tahun itu, 105 surat kabar ditutup, penjualan iklan cetak turun 30 persen pada kuartal I 2009, dan 23 dari 25 surat kabar terbesar melaporkan penurunan sirkulasi antara 7 sampai 20 persen setiap tahunnya.

Tak hanya di Amerika, rangkaian kisah kematian media cetak juga terjadi di Inggris, menimpa koran ternama The Independent dan mingguan Independent on Sunday. Edisi terakhir keduanya terbit pada 20 dan 26 Maret 2016.

Tak hanya di luar negeri, di Indonesia pun sudah banyak koran dan majalah yang megap-megap, lalu berhenti terbit. Melambungnya ongkos cetak dan distribusi, serta jumlah pembaca dan pendapatan iklan yang terus merosot, jadi bencana di saat konten gratis bertebaran di Internet.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya