Liputan6.com, Jakarta Pesawat terbang ditargetkan mulai menggunakan avtur yang dicampur dengan minyak kelapa sawit (bioavtur) sebesar 0,01 persen pada 2018.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Syamsir Abduh mengatakan, dalam kebijakan pengembangan biofuel di Indonesia, pesawat udara masuk di dalamnya.
"Kalau dikajiannya itu memang untuk pesawat, bioavtur. Jadi kecil dulu. Kalau bioavtur tentu dari CPO (crude palm oil) juga," kata Syamsir, di Jakarta, Kamis (12/10/2017).
Advertisement
Baca Juga
Berdasarkan jadwalnya, penggunaan bioavtur direncanakan berlaku mulai 2018. Dengan komposisi sebanyak 0,01 persen minyak kelapa sawit dalam 1 liter avtur. kemudian secara bertahap menjadi 3,35 persen pada 2050.
"Jadi sebenarnya kan sudah ada bioavtur. Berawal dari nol. Nah saya kira kebijakan ini diteruskan," tutur dia.
Menurut Syamsir, untuk menerapkan konsumsi bioavtur pada pesawat udara, DEN masih menunggu tanggapan dari produsen mesin pesawat. Hal ingin sangat penting, karena jika terjadi kesalahan bisa berakibat sangat fatal.
"Karena ini kan sangat sensitif, kalau di transportasi udara jangan sampai menimbulkan persoalan seperti itu tadi. Jadi ini memerlukan waktu untuk uji cobanya," tutup Syamsir.
Pencampuran Bensin dengan Ethanol Butuh Insentif Fiskal
DEN mengharapkan insentif fiskal dari Kementerian Keuangan, untuk mendukung program pencampuran Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis gasoline atau bensin dengan bioethanol.
Sekretaris Jenderal DEN Saleh Abdulrrahman mengatakan, salah satu kendala belum tercampurnya ethanol dengan bensin karena harga yang tinggi. Dia menyebut harga ethanol lebih mahal sekitar Rp 1.000 sampai Rp 2.000 dari Pertamax 92.
"Jadi harga bio ethanol lebih tinggi daripada harga jual Pertamax sekarang. Jadi kalau misalnya Pertamina jual Bio Pertamax dia harus nambahin ," kata Saleh.
Saleh mengungkapkan, untuk melaksanaan program yang tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tersebut, perlu kajian teknis dan dukungan dari berbagai pihak yang terkait dengan pelaksanaan pencampuran bensin dengan minyak tebu tersebut.
"Untuk implementasi E2 (campuran ethanol 2 persen) dan seterusnya itu perlu ada kajian integrasi tidak hanya pemerintah, tapi ada Hiswana (Himpunan Wiraswata Minyak dan gas), Gaikindo, sehingga dari sisi engine selesai," papar Saleh.
Anggota DEN Syamsir Abduh menambahkan, untuk mengurangi harga ethanol, dibutuhkan insentif dari Kementerian Keuangan. Insentif tersebut berupa pembebasan bea keluar dan memberi kategori khusus ethanol untuk campuran bahan bakar. Pasalnya, saat ini bio ethanol digunakan sebagai bahan pembuatan minuman beralkohol, sehingga dikenakan cukai yang cukup tinggi.
"Perlunya mempertimbangkan pengaturan cukai. supaya tidak terjadi kontradiktif, dipertimbangkan betul untuk fuel grade pengaturaan cukainya ditinjau ulang. Menteri Keuangan sebagai anggota DEN diharapkan untuk mempertimbangkan insentif jika ethanol yang 5 persen diterapkan, terutama terkait bea masuk," tutup Syamsir.
Advertisement