Pembentukan Holding Tambang Tak Kurangi Kewenangan BUMN

Banyak pihak menyatakan bahwa pembentukan holding BUMN tambang seakan sebagai upaya untuk menghindari pengawasan DPR.

oleh Arthur Gideon diperbarui 19 Nov 2017, 19:30 WIB
Diterbitkan 19 Nov 2017, 19:30 WIB
20160725-Gedung Kementrian BUMN-AY
Gedung Kementrian BUMN. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menargetkan pembentukan induk usaha (holding) tambang selesai pada akhir 2017. Dalam pembentukan holding ini, tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT Timah Tbk (TINS), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) akan menjadi anak usaha dari PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum).

Mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu menjelaskan, banyak pihak menyatakan bahwa pembentukan holding seakan sebagai upaya untuk menghindari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap BUMN. Menurutnya, pendapat tersebut kurang tepat karena pengawasan DPR dapat dilakukan seluruh BUMN dan anak perusahaan. "Bahkan ke swasta pun bisa melakukan pengawasan," jelas dia, Minggu (19/11/2017). 

Sejauh ini tidak sedikit perusahaan swasta seperti Freeport dan lainnya biasa dipanggil oleh DPR. Pada dasarnya pengawasan ke BUMN dan anak atau cucu atau cicit perusahaan oleh DPR semua dapat dilakukan melalui kementerian BUMN sebagai mintra kerja DPR.

Ia melanjutkan, banyak juga yang berpendapat bahwa perubahan BUMN menjadi anak perusahaan dan tidak lagi sebagai persero akan menjadikan PTBA, Antam, Timah seakan tidak lagi tunduk pada aturan BUMN.

"Pendapat ini juga kurang tepat karena dalam anak perusahaan tersebut terdapat saham merah putih yang dimiliki langsung pemerintah yang memiliki hak veto terhadap keputusan RUPS sehingga sebenarnya walau berubah status menjadi anak perusahaan pengelolannya tetap sama seperti BUMN," lanjut dia. 

Selain itu, pendapat bahwa diubahnya status BUMN Persero menjadi anak perusahaan BUMN maka penjualan aset atau privatisasi tidak lagi memerlukan persetujuan DPR.

Pendapat tersebut juga disebut oleh Said Didu tidak tepat. Alasannya, dalam penjelasan butir kedua Undang-Undang Keuangan Negara bahwa apabila terdapat saham pemerintah dalam perusahaan apapun baik swasta, asing, apalagi saham di BUMN makan jika pemerintah mau menjual saham dalam perusahaan tersebut maka harus persetujuan DPR.

Said Didu juga menampik bahwa berubahnya status perusahaan tambang BUMN menjadi non BUMN maka akan kehilangan hak-hak istimewa. Alasannya, dalam PP 72/2016 bahwa Anak perushaan eks-BUMN perlakuannya sama dengan BUMN maka hak tersebut tidak hilang.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Wujudkan hilirisasi

Sebelumnya, Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium Budi Gunadi Sadikin‎ mengatakan, pengolahan sumber daya alam telah dilakukan oleh pemerintah melalui BUMN bidang pertambangan, swasta nasional, dan asing.

Namun, untuk BUMN masih mengalami keterbatasan terutama pada permodalan sehingga‎ porsi BUMN dalam menguasai pertambangan masih kecil, jika dibandingkan dengan swasta nasional dan asing.

"Hal itu terjadi karena adanya keterbatasan yang dimiliki BUMN pertambangan, terutama dalam hal pendanaan sehingga menyulitkan untuk pengembangan investasi," kata Budi, di Jakarta, Sabtu (18/11/2017).

‎Menurut Budi, diperlukan sinergi antar-BUMN tambang agar bisa dan mampu menjadi pemain besar dalam pengolahan sumber daya mineral demi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pembentukan holding BUMN industri pertambangan dirasa tepat untuk menjawab tantangan tersebut.

Budi menyebutkan, tiga hal objektif pembentukan holding ini adalah pengelolaan cadangan sumber daya alam, hilirisasi produk dan kandungan lokal, serta menjadi perusahaan kelas dunia.

Terkait dengan hilirisasi, Budi mengungkapkan, hingga saat ini bahan baku industri di Indonesia sebagian besar masih menggantungkan bahan baku impor sehingga meningkatkan biaya produksi dan harga barang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya