Mau Tarik Utang Rp 414 Triliun 2018, Sri Mulyani Konsultasi ke BI

Pemerintah membutuhkan pembiayaan berasal dari utang sebesar Rp 399,2 triliun guna menambal defisit.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Nov 2017, 15:00 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2017, 15:00 WIB
Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Senin (20/11/2017).
Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Senin (20/11/2017).

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo bertemu dengan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati untuk mendiskusikan rencana pemerintah untuk menarik utang pada 2018. Pertemuan otoritas moneter dan fiskal itu berlangsung di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Senin (20/11/2017).

Dalam pertemuan yang berlangsung tiga jam ini, Agus mengaku, lebih banyak mendiskusikan realisasi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 dan rencana di APBN 2018.

"Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang (UU), kalau pemerintah akan menjalankan APBN dan menerbitkan SBN di 2018, perlu berkonsultasi dengan BI," kata Agus saat berbincang dengan wartawan, hari ini.

"Jadi kami berkonsultasi membicarakan (penerbitan SBN) 2017 dan rencana 2018. Konsultasinya dilakukan dengan baik dan sejalan dengan UU," Agus menambahkan.

Untuk diketahui, pemerintah membutuhkan pembiayaan berasal dari utang sebesar Rp 399,2 triliun guna menambal defisit yang ditargetkan Rp 325,9 triliun atau 2,19 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 414,5 triliun dan pinjaman neto negatif Rp 15,3 triliun. Pemberian pinjaman negatif Rp 6,7 triliun, pembiayaan lainnya Rp 200 miliar, pembiayaan investasi negatif Rp 65,7 triliun, dan kewajiban penjaminan negatif Rp 1,1 triliun.

"Dua institusi ini saling mendiskusikan tentang ekonomi 2017 dan 2018, pasar keuangan global, pasar keuangan domestik, rencana penerbitan SBN, strateginya, instrumennya, semua kita bicarakan," jelas Agus.

Sayangnya, mantan Menteri Keuangan itu enggan mengungkap rencana jadwal penerbitan surat utang pada tahun depan. "Tidak bisa saya bicara timeline-nya. Semua memang dibicarakan, tapi timeline-nya biar Menkeu yang memberi tahu," tandas Agus.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Jumlah utang pemerintah

Total outstanding utang pemerintah pusat membengkak menjadi Rp 3.866,45 triliun hingga September 2017. Jumlah ini bertambah sebesar Rp 40,66 triliun dalam satu bulan dibandingkan dengan posisi per Agustus 2017 yang sebesar Rp 3.825,79 triliun.

Dalam keterangan resminya di laman resmi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, utang pemerintah pusat sebesar Rp 3.866,45 triliun sampai dengan September ini, terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.128,46 triliun dan pinjaman Rp 737,99 triliun.

Rinciannya terdiri dari penerbitan Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 2.591,55 triliun (67,0 persen), Surat berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk sebesar Rp 536,91 triliun (13,9 persen), dan pinjaman sebesar Rp 737,99 triliun (19,1 persen).

Utang tersebut didominasi oleh utang dalam mata uang Rupiah (59 persen), diikuti porsi utang dalam mata uang asing, yakni Dolar Amerika Serikat (29 persen), Yen Jepang (6 persen), Euro (4 persen), Special Drawing Right (1 persen), dan beberapa valuta asing lain (1 persen).

Jika dilihat, terjadi penambahan utang neto dalam kurun waktu satu bulan (Agustus-September 2017) senilai Rp 40,66 triliun. Berasal dari penerbitan SBN sebesar Rp 40,51 triliun (neto) dan penarikan pinjaman sebesar Rp 0,15 triliun (neto).

"Tambahan pembiayaan utang tersebut memungkinkan kenaikan belanja produktif di bidang pendidikan, infrastruktur, kesehatan, transfer ke daerah dan dana desa, serta belanja sosial," kata Dirjen PPR, Robert Pakpahan.

Utang pemerintah pusat senilai Rp 3.866,45 triliun berdasarkan krediturnya didominasi oleh investor SBN (81 persen), kemudian pinjaman dari Bank Dunia (6 persen), Jepang (5 persen), ADB (3 persen), dan lembaga lainnya (5 persen).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya