Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pihaknya akan terus melakukan verifikasi terhadap data dalam Paradise Papers. Dalam dokumen tersebut, memuat sekitar 13,4 juta nama yang diam-diam berinvestasi di negara lain, termasuk warga negara Indonesia.
Hal ini dia ungkapkan dalam Seminar Nasional Political Economy Outlook 2018 yang digelar oleh Institute for Development of Economic and Finance (Indef).
"Kalau tindak lanjutkan, kami lihat datanya. Melakukan verifikasi terhadap data tersebut, itu saja," ujar dia di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu (22/11/2017).
Advertisement
Baca Juga
Diberitakan sebelumnya, sebuah penyelidikan investigatif terbaru diungkap ke publik minggu ini. Diberi nama Paradise Papers, penyelidikan tersebut menelisik keterlibatan pebisnis papan atas, pimpinan pemerintahan, tokoh dalam bidang politik, global dan hiburan dalam hal menyembunyikan kekayaan mereka demi menghindari pajak.
Sama halnya dengan Skandal Panama Papers yang diungkap tahun lalu, dokumen itu diperoleh oleh surat kabar Jerman Süddeutsche Zeitung, yang kemudian meminta International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) atau Konsorsium Jurnalis Investigatif untuk melakukan penyelidikan.
Pengungkapan ini juga menyeret beberapa nama orang Indonesia. Dilansir dari laporan bocoran ICIJ, Senin 6 November 2017 setidaknya ada tiga nama yang turut masuk yakni politikus Prabowo Subianto, dan anak mantan Presiden Soeharto, Tommy dan Mamiek Soeharto.
Dalam laporan Paradise Papers tersebut disebutkan Tommy dan Mimiek Soeharto sudah membentuk perusahaan cangkang di zona bebas pajak lewat bendera Humpuss Group. Tommy, yang kini menahkodai Humpuss Group, pernah menjabat sebagai direktur dan bos dari Asia Market Investments.
Perusahaan tersebut ternyata memiliki alamat yang sama dengan perusahaan lain yakni V Power Corp. Menurut catatan Securities and Exchange Commision, Tommy memiliki saham di perusahaan mobil mewah Italia Lamborghini di bawah V Power Corp.
Lebih lanjut data dari Appleyby, firma hukum di Bermuda, mengungkap adanya kerja sama dari anak perusahaan Humpuss dengan NLD, sebuah perusahaan periklanan billboard Australia.
Menurut laporan setempat pada 1997, perusahaan patungan itu membuat Tommy Suharto dan mitranya dari Australia mendirikan bisnis papan reklame pinggir jalan di Negara Bagian Victoria, Australia, Filipina, Malaysia, Myanmar dan Cina. Perusahaan itu ditutup di Bermuda pada 2003 dan dicatat di Appleby sebagai "pengemplang pajak."
Sementara Mamiek disebutkan adalah wakil presiden Golden Spike Pasiriaman Ltd dan pemilik dan pimpinan Golden Spike South Sumatra Ltd. Ia menjalankan perusahaan bersama Maher Algadri, eksekutif Kodel Group, salah satu konglomerat terbesar Indonesia zaman Soeharto.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
DJP Bakal Selidiki Orang Tenar RI Masuk Daftar Paradise Paper
Sebelumnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak atau Ditjen Pajak Kementerian Keuangan akan bergerak menganalisis dokumen surga atau yang lebih dikenal dengan Paradise Papers yang mencatut nama orang superkaya di Indonesia. Tentunya dengan langkah sesuai prosedur mulai dari pencocokan data.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Ken Dwijugiasteadi, mengaku akan bekerja seperti biasa mengolah data atau laporan yang diterima dari berbagai sumber, termasuk dari Paradise Papers. Hal ini sama dengan apa yang dilakukan saat Panama Papers dan data transfer uang melalui Standard Chartered menyeruak.
"Kalau menyangkut pajak pasti sesuai dengan ketentuan saya lihat dulu. Pasti kami kerjakan, seperti Panama Papers, tapi haslnya tidak bisa diumumkan ke publik," ujar dia usai Rapat Pimpinan (Rapim) di kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa 7 November 2017.
Paradise Papers merupakan 13,4 juta dokumen yang berisi catatan kekayaan tersembunyi para elite dunia, termasuk Indonesia, demi menghindari pajak. Sebelumnya, tersebar pula data Panama Papers yang menyeret nama-nama miliarder global maupun nasional.
Dengan era pertukaran data secara otomatis untuk kepentingan perpajakan (Automatic Exchange of Information/AEoI) per September 2018, Ditjen Pajak ke depan dapat langsung meminta data atau informasi dari Wajib Pajak Indonesia di luar negeri by request atau permintaan.
"Kalau sudah ada AEoI, kami bisa request kok," tegas Ken.
Sementara itu, Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak, Yon Arsal, mengatakan, seluruh data atau informasi yang diperoleh baik dari Paradise Papers, Panama Papers, dan sumber lainnya akan dilihat Ditjen Pajak untuk ditindaklanjuti.
"Sesuai SOP tidak hanya bicara Panama dan Paradise Papers, kalau terima data, kami akan sandingkan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak," dia menjelaskan.
Apabila ada perbedaan data yang diperoleh dengan SPT, ujar Yon, pihaknya akan memberikan imbauan kepada Wajib Pajak sampai ke tahap klarifikasi. Langkah selanjutnya, dia menjelaskan, jika wajib pajak tidak menanggapi imbauan dan tidak mengklarifkasi, maka akan dilakukan pemeriksaan.
"Kalau wajib pajak mau klarifikasi dan bayar, case closed. Tapi kalau tidak, ya diusulkan pemeriksaan dan ujungnya Surat Ketetapan Pajak (SKP)," ujarnya.
"Jika dia datanya valid, tapi tidak mau bayar SKP, maka jadi tunggakan pajak dan akan ada surat teguran, surat paksa, gijzeling (penyanderaan). Jadi perlakuannya sama atas semua data," ujar Yon.
Advertisement