Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat porsi energi baru terbarukan (EBT) mengalami kenaikan. Sementara konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam pemakaian energi primer untuk pembangkit listrik menurun.
Dari keterangan resmi Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jakarta, Minggu (24/12/2017), porsi bauran energi primer di kuartal III-2017, untuk BBM adalah 6,06 persen atau turun dari periode yang sama 2016 sebesar 7,10 persen.
Advertisement
Baca Juga
Angka tersebut sudah termasuk Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai campuran BBM, yang memberikan porsi 0,42 persen terhadap total bauran energi primer pembangkit.
Dibanding tiga tahun lalu, porsi BBM pada bauran energi primer pembangkit masih sebesar 11,81 persen di 2014, sementara untuk EBT 11,21 persen. Bahkan, penggunaan BBM untuk bahan bakar pembangkit ini sempat mendominasi hingga 36 persen pada 2008.
Porsi tersebut dihitung berdasar realisasi produksi listrik yang dihasilkan oleh tiap energi primer yang terdiri dari BBM plus BBN, gas, batu bara, dan EBT.
Total hingga kuartal III-2017 telah dihasilkan listrik sebesar 186.699 Giga Watt hour (GWh), baik dari PLN maupun IPP (Independent Power Producer). Adapun volume BBM untuk pembangkit PLN sampai dengan kuartal III ini mencapai 2,54 juta kilo Liter (kL) atau setara untuk memproduksi listrik sebesar 8.976 GWh.
Di sisi lain, porsi EBT dalam bauran pembangkit ini meningkat cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya. Energi hidro atau air, panas bumi, dan EBT lainnya, tercatat menyumbangkan porsi 12,51 persen, meningkat dari target dalam APBN-P 2017 sebesar 11,96 persen.
Laporan juga mencatatkan realisasi produksi listrik dari pembangkit EBT, di mana produksi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) telah mencapai 13.593 GWh, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) 9.324 GWh, dan pembangkit EBT lainnya 456 GWh.
Tonton Video Pilihan Ini
ESDM Bantah Pengembangan Energi Terbarukan Terhambat Regulasi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan, pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) tidak terhambat regulasi. Dalam hal ini Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50 tahun 2017 ‎tentang penetapan harga listrik dari pembangkit EBT.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana mengatakan, Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50 tahun 2017 bukan merupakan alasan terhambatnya pengembangan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan di Indonesia.
"Jadi Permen dan terhambatnya pembangunan proyek EBT adalah dua hal yang berbeda. Permen merupakan panduan untuk proyek-proyek yang didanai oleh swasta sedangkan terhambatnya proyek EBT karena berbagai faktor, salah satunya adalah lamanya serah terima ke Pemda," kata Rida, di Jakarta, Senin (18/12/2017).
Permen ESDM Nomor 50 tahun 2017 adalah hasil revisi dari Permen Nomor 12 tahun 2017 tentang aturan pemanfaatan sumber EBT untuk penyediaan tenaga listrik. Perubahan ini merupakan upaya mewujudkan iklim usaha yang lebih baik, dengan menyeimbangkan kepentingan terhadap investor dan juga mengusahakan harga listrik yang wajar dan terjangkau oleh masyarakat.
"Pemerintah sangat terbuka masukan dari pelaku industri. Namun, kembali saya tegaskan, pemerintah selalu menempatkan masyarakat sebagai pertimbangan utama saat menyusun suatu kebijakan," tutur Rida.
Rida melanjutkan, faktor-faktor yang menyebabkan lamanya serah terima adalah karena pihak Pemda menunggu dana hibah agar dapat mengelola infrastruktur pembangkit listrik dan kendala administratif.
"Setelah Pemda mengusulkan, kami langsung menyiapkan infrastrukturnya. Tapi kenyataannya, banyak yang masih menunggu dana hibah sehingga menghambat proses serah terima," jelas Rida.
Sejak 2011 hingga 2017, infrastruktur energi baru terbarukan yang sudah dibangun mencapai 738 unit dengan kapasitas sebesar 51.201 KW. Pembangkit listrik EBT tersebut merupakan pembangkit ramah lingkungan berskala kecil yang tersebar di kawasan-kawasan terpencil, yang sulit terjangkau aliran listrik PLN.
Advertisement