Harga BBM Subsidi Tak Naik Pangkas Laba Pertamina 24 Persen

Harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) sepanjang 2017 di posisi US$ 51,17 per barel.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 29 Jan 2018, 16:00 WIB
Diterbitkan 29 Jan 2018, 16:00 WIB
Peningkatan mutu pendidikan oleh Pertamina
Peningkatan mutu pendidikan oleh Pertamina
Liputan6.com, Jakarta PT Pertamina (Persero) mencatat perolehan laba bersih 2017 sebelum diaudit US$ 2,41 miliar. Angka ini menurun 24 persen dibanding laba bersih 2016 sebesar US$ 3,15 miliar.
 
Direktur Utama PT Pertamina Elia Massa Manik mengungkapkan, penurunan laba bersih tersebut akibat tidak adanya penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dan Solar bersubsidi, seiring kenaikan harga minyak dunia sepanjang 2017.
 
 
"Belum ada kebijakan penyesuaian harga premium solar, sampai dengan kuartal 1 2018 ini. Ini berimbas pada penurunan laba bersih perusahaan sebesar 24 persen dibandingkan 2016‎," kata Massa, saat rapat dengan Komisi VI DPR, Jakarta, Senin (29/1/2018).
 
Massa melanjutkan, untuk pendapatan 2017 sebelum diaudit mencapai US$  42,86 miliar, naik 17 persen dari pendapatan 2016 sebesar US$ 36,9 miliar. Angka tersebut kemungkinan bisa berubah setelah proses audit selesai.‎
 
"Angka angka ini belum audited. ini nanti kemungkinan berubah. Tapi, nanti resmi audited akan keluar di 14 Februari," tutur Massa.
 
Menurut Massa, harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP)  sepanjang 2017 di posisi US$ 51,17 per barel, naik 27 persen dibanding pada 2016 yang sebesar US$ 40,16 per barel.
 
Kondisi tersebut membuat Pertamina menekan biaya operasional pada tahun lalu hingga sebesar 26 persen dengan realisasi US$ 38,2 miliar.
 
"Di tengah kenaikan ICP 27 persen, pertamina berusaha menekan biaya OPEC diangka 26 persen," dia menandaskan. 

Pertamina Garap Proyek Listrik di Bangladesh Senilai Rp 26 T

PT Pertamina (Persero) bekerja sama dengan Bangladesh Power Development Board (BPDP) melakukan pembangunan proyek listrik terintegrasi di Bangladesh. Kerja sama tersebut ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU).

Penandatanganan MoU dilakukan oleh Vice President (VP) Power New Renewable Energy Pertamina, Ginanjar dengan Chairman of BPDP Khaled Mahmood. Hal ini disaksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Republik Bangladesh Sheikh Hasina di Dhaka, Bangladesh, baru-baru ini.

VP Communication Pertamina,‎ Adiatma Sardjito, mengatakan kerja sama ini merupakan tindak lanjut dari MoU sebelumnya di sektor energi yang diteken Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Ministry of Power, Energy and Mineral Resources of the People’s Bangladesh pada 15 September 2017.

Dalam kerja sama Pertamina dan Bangladesh, Pertamina akan membangun dan mengembangkan proyek terintegrasi di Bangladesh, yang terdiri atas Independent Power Producer (IPP) Combined Cycle Gas Turbine (CCGT) Power Plant dengan kapasitas 1.400 Megawatt (Mw).

"Proyek ini nantinya akan terhubung dengan fasilitas penerima LNG yang terdiri dari Floating Storage and Regasification Unit (FSRU), infrastruktur mooring, dan off loading, serta jalur pipa gas baik sub-sea maupun onshore," kata Adiatma di Jakarta, Senin (29/1/2018).

Dalam proyek terintegrasi, BPDB akan bertindak sebagai pembeli listrik yang dihasilkan oleh fasilitas terintegrasi tersebut. Adapun nilai investasi dari proyek antara Pertamina dan BPDB diperkirakan sebesar US $ 2 miliar atau sekitar Rp 26,3 triliun.

"Proses penyelesaian konstruksi fasilitas ini akan membutuhkan waktu tiga tahun setelah tahap financial closing dicapai. Rencananya konstruksi akan dimulai pada 2019," ucap Adiatma.

Tonton Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya