Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat pada perdagangan Selasa ini. Pulihnya pasar saham membuat investor melepas aset dolar AS dan kembali membelanjakan ke saham.
Mengutip Bloomberg, Selasa (13/2/2018), rupiah dibuka di angka 13.631 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.639 per dolar AS.
Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 13.621 per dolar AS hingga 13.649 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 0,56 persen.
Advertisement
Baca Juga
Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 13.644 per dolar AS. Patokan pada hari ini melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 13.609 per dolar AS.
Dolar AS memang tergelincir di kawasan Asia pada perdagangan Selasa ini sehingga rupiah mampu menguat. Dolar AS terjatuh karena pasar saham mulai stabil setelah mengalami tekanan yang cukup dalam pada perdagangan sebelumnya.
Indeks dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia lainnya berada di 90,142, turun 0,26 persen jika dibandingkan dengan Senin kemarin.
Kepala Analis Pasar Uang Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Minori Uchida menjelaskan, dolar AS kemungkinan besar akan terus mengalami tekanan terutama terhadap yen Jepang.Â
Dolar AS tertekan karena pasar saham sudah mulai stabil. Para investor yang tadinya memburu dolar sebagai aset safe haven kembali melepas dan kembali ke pasar saham.Â
Kenaikan Suku The Fed
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara mengatakan, pelemahan rupiah tersebut bukan suatu cerminan dari fundamental ekonomi Indonesia. Sebab, bukan hanya rupiah saja yang melemah, tapi juga mata uang negara lain.
"Negara-negara lain currency-nya menguat, kita menguat. Sekarang ada volatilitas temporer ya negara-negara lain juga ada pelemahan ya Indonesia juga currency-nya melemah sedikit," ujar dia pada 8 Februari 2018.
Dia menjelaskan, pelemahan rupiah tersebut merupakan efek dari rencana Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) yang akan menaikkan suku bunga acuannya pada Maret 2018. Sehingga pelemahan tersebut dinilai sebagai suatu hal yang wajar.
"Kalau kita sekarang ekspektasi Maret kenaikan (suku bunga The Feb) pertama di 2018, berarti volatilitas (nilai tukar) di Februari ini suatu hal yang normal saja," kata dia.
Â
Â
Advertisement
Tingkatkan Kinerja Ekspor
Menurut Mirza, yang harus dilakukan Indonesia dalam menghadapi pelemahan ini adalah dengan meningkatkan kinerja ekspor baik barang maupun jasa.
Dengan demikian, pelemahan tersebut tidak berdampak pada neraca perdagangan dan suplai valas bisa tetap terjaga.
"Rupiah kan tergantung demand dan supply. Yang penting adalah kalau kita bisa meningkatkan ekspor brang dan jasa, tentunya transaksi neraca ekspor barang dan jasa kita bisa surplus. Malaysia, Thailand, Singapura ekspor barang dan jasanya surplus. Kalau kita masih defisit. Memang bisa dikendalikan di bawah 2 persen PDB. Kalau surplus berarti suplai valasnya juga tinggi," tandas dia.