Liputan6.com, Jakarta Kinerja Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dalam bidang ekonomi khususnya penciptaan lapangan kerja diakui belum sebaik periode pemerintahan Presiden Soesilo BY-Boediono kurun 2009-2014.
Namun, pencapaian tersebut masih tetap lebih baik bila dibandingkan periode pertama SBY bersama JK di 2004-2009.
Baca Juga
Bahkan diyakini pada di periode kedua pemerintahan Jokowi, kinerja penciptaan lapangan kerja maupun kondisi ekonomi akan membaik asal memenuhi beberapa syarat tertentu.
Advertisement
Ini diungkapkan Anggota Komisi XI DPR Golkar M.Misbakhun yang menjadi pembicara pada diskusi bertema "Mampukah Pemerintahan Jokowi-JK Ciptakan Lapangan Kerja" yang digelar Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Selasa (20/2/2018).
Politikus Golkar M Misbakhun menilai jika pemerintahan Jokowi memerintah dengan mewarisi pertumbuhan ekonomi yang menurun. Saat SBY-Boediono memimpin, ekonomi Indonesia ditopang pertumbuhan China yang masih berada di posisi double digit, berbeda dengan saat ini yang berada di bawah angka 10 persen.
Selain itu, harga komoditas global saat itu sangat bagus dan ekspor Indonesia juga tinggi. "Pak Jokowi masuk, dia hadapi transisi kekuasaan," kata Misbakhun.
Di awal transisi kekuasaan itu, Jokowi membenahi banyak hal. Salah satu yang dilakukan adalah mengalihkan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi dana produktif untuk pembangunan.
Bertambahnya ruang fiskal di APBN akibat kebijakan pengalihan subsidi BBM itu membuat harga BBM mengalami penyesuaian. Dan ini memang sempat membuat ekonomi menurun, seperti di awal pemerintahan SBY-JK yang menaikkan harga BBM.
"Bedanya, Pak Jokowi membangun sebuah ruang fiskal yang jadi longgar. Subsidi dialihkan menjadi pembangunan infrastruktur," dia menambahkan.
Peralihan kekuasaan di China sekaligus menguatnya isu lingkungan membuat China sebagai tujuan ekspor Indonesia melemah. Hal ini menjelaskan kenapa terjadi keleseuan di sektor perkebunan, galian dan tambang, serta pertanian nasional.
"Harus diingat bahwa kuatnya sektor tambang di era SBY juga diimbangi tingginya non-performing loan di perbankan pada saat itu. Jadi harus seimbang melihatnya," kata Misbakhun.
"Saya yakin di periode kedua pemerintahan, Jokowi juga akan lebih tinggi dibanding SBY," tegas dia.
Legislator dari daerah pemilihan Pasuruan dan Probolinggo itu justru melihat bahwa Pemerintahan Jokowi sudah berada pada jalur yang benar. Ketika sektor global tak menarik bagi pembangunan ekonomi, maka yang digenjot adalah sektor ekonomi domestik.
Program Andalan
Salah satu yang diandalkan adalah program Dana Desa yang mencapai Rp 60 triliun pada 2017. Sektor ini mampu menciptakan hingga 5 juta lapangan kerja baru.
"Jadi langkah ini sudah benar. Tinggal perhatikan isu agar regulasi dan pengawasan hingga pemeriksaan dana desa diperkuat," tambah dia.
Kemudian kementerian dan diminta menguatkan fungsi dan peran demi memaksimal Dana Desa bisa menciptakan semakin banyak lapangan kerja.
"Komunitas desa harus disertakan dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Kalau bisa diintegrasikan dengan desa, ini akan jadi kekuatan utama Indonesia di masa depan," jelas dia.
Ada lagi program pemerintahan lainnya yang diyakini Misbakhun akan semakin memperkuat penciptaan lapangan kerja. Yakni Program Investasi Pemerintah (PIP) sebagai program ultramikro negara dengan pinjaman modal maksimal Rp 2,5 juta. Program ini berbarengan dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang juga digalakkan Pemerintahan Jokowi.
"KUR itu saja nasabahnya 12 juta. Artinya ada 12 juta lapangan kerja. Belum dari sisi tenaga kerja dan lembaga pembiayaannya. Tentunya lapangan kerja ini riil semua," ujar Misbakhun.
Ditegaskan Misbakhun, memang untuk semakin mempercepat dan membuat momen saat ini lebih berkualitas, Tim Ekonomi Pemerintahan harus bisa berpikir lebih maju. Harus ada juga keberanian untuk melibatkan swasta dengan mengelola segala resiko yang ada.
"Ini jadi harus perenungan bagi Tim Ekonomi, agar bagaimana di situasi normal dan cenderung membaik ini, kita bisa melaksanakan lompatan. Jangan bekerja hanya demi menjaga stabilitas dengan kebijakan konservatif," kata Misbakhun.
Advertisement
Lapangan Kerja
Ekonom Senior INDEF Dradjad H Wibowo menyatakan topik pembicaraan mengenai penciptaan kerja menjadi penting. Ini menjadi kunci pengentasan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.
"Dan melihat dua indikator penciptaan kerja, kinerja pemerintahan Jokowi-JK lebih rendah dari SBY-Boediono, tapi lebih baik dari SBY-JK," kata Dradjad.
Rata-rata pertambahan penduduk bekerja di era Jokowi-JK sebesar 2.127.211 penduduk per tahun, lebih rendah dari era SBY-Boediono sebesar 2.868.457.
Rasio penciptaan kerja (RPK) era Jokowi-JK sebesar 426,297 penduduk per 1 persen pertumbuhan ekonomi. "Lebih rendah dari era SBY-Boediono sebesar 467.082 penduduk," imbuhnya.
Peneliti Indef Nailul Huda memotret minusnya penciptaan kerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan. Dimana jumlah penduduk bekerja berkurang 700.624 penduduk.
"Ini melanjutkan tren minus pada era SBY-Boediono. Sektor pertambangan dan penggalian juga kehilangan hampir 50 ribu penduduk bekerja," ulasnya.
Di sektor industri pengolahan, meskipun RPK tercatat positif, namun lebih rendah dari 3 tahun awal SBY-Boediono.
Menurut Peneliti Indef Andry Satrio Nugroho, rata-rata pertambahan penduduk bekerja pada era pemerintahan Jokowi-JK ditopang oleh sektor jasa perdagangan dan transportasi.
Sektor perdagangan, restoran, jasa akomodasi mampu menghasilkan rata-rata pertambahan penduduk bekerja sebesar 1.106.590 penduduk per tahun.
"Hal ini disebabkan oleh masifnya pertumbuhan e-commerce di Indonesia," imbuh Andry.
Menurut Peneliti INDEF Izzudin Al Farras Adha, tahun 2017, ada keanehan dengan angka rata-rata tambahan jumlah penduduk bekerja naik tajam ke 3,25 juta. Faktor penyebabnya, diindikasikan, adalah karena adanya kucuran dana desa sebesar Rp 60 triliun pada tahun 2017.
Di sisi lain, ada kelesuan dalam properti. Sektor ini menunjukkan angka yang anjlok nyaris 50 persen dibandingkan 3 Tahun Pertama SBY-Boediono. "Salah satu penyebab terjadinya anjlok tersebut, patut diduga kuat, adalah karena lesunya bisnis properti sejak pertengahan tahun 2016 sampai akhir 2017," kata Izzudin.