Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, pelunasan utang kepada Pertamina juga menunggu audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Sampai hari ini, kami melihat Pertamina sebagai korporasi karena harus melaksanakan kebijakan pemerintah dia absorb dulu. Lalu oleh BPK dan BPKP audit berapa konsumsinya, volume yang disubsidi," ujar Sri, Senin (26/2/2018).
"Harga yang berbeda dengan harga yang ditetapkan di UU APBN, berapa yang bisa dibayarkan oleh APBN dan absorp Pertamina, sesuai tingkat kemampuan neraca Pertamina," tambah dia.
Advertisement
Baca Juga
Sri juga mengatakan, pembayaran utang ke Pertamina juga menyesuaikan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kemudian juga melihat biaya yang ditanggung Pertamina.
"Semuanya, dari Kementerian ESDM, menteri BUMN, kami sendiri, semua pada level eselon 1 sudah melakukan koordinasi untuk melihat realisasinya ini dan nanti bagaimana mekanisme untuk bisa membayarnya sesuai yang ada didalam kemampuan APBN dan berapa yang mesti ditanggung oleh pertamina dari sisi korporasi mereka," ujar dia.
Sri Mulyani menegaskan urusan utang dengan Pertamina ini sudah diatur oleh pemerintah maupun DPR dalam UU APBN 2018.
"Dalam undang-undang APBN 2018 sudah ditetapkan antara pemerintah dan DPR mengenai besaran jumlah subsidi yang akan dialokasikan untuk pertamina dan PLN. Itu basisnya untuk harga minyak, nilai tukar, dan berapa konsumsi minyak. Bahwa dalam perjalananya harga minyak berbeda seperti yang diasumsikan maka akan terjadi perbedaan di dalam realisasi dari subsidi yang akan terjadi dan ini kemudian akan ditetapkan siapa yang menanggung," jelas dia.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani mengatakan, audit BPK atas laporan keuangan pemerintah pusat 2016, pemerintah memiliki utang sekitar Rp 20 triliun kepada Pertamina, ke PLN sekitar Rp 12 triliun, dan subsidi pupuk di atas Rp 10 triliun.
"Ini (utang PLN) sudah kita cicil sebagian, yakni Rp 5 triliun. Jadi masih ada Rp 7 triliun," ujar dia. Dia menyebut, pemerintah sudah mencadangkan anggaran untuk melunasi sebagian utang subsidi tersebut pada APBN 2018. Tentunya sesuai mekanisme dan kemampuan fiskal pemerintah.
"Pagu cadangan dari pelunasan cicilan ini akan kita manfaatkan untuk memenuhi kewajiban di 2018. Ini sejalan dengan audit BPK di 2016. BPK sudah minta pemerintah untuk mencadangkan dan estimasi kita bisa selesaikan dalam 1-2 tahun ini," ujar Askolani.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Menteri Jonan Minta Sri Mulyani Bayar Utang ke Pertamina dan PLN
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani, membayar ‎utang pemerintah atas subsidi yang telah disalurkan PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero).
Jonan mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah menganggarkan dana subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM), Elpiji dan listrik. Dana ini yang diminta untuk segera dibayarkan.
"Saya mohon kepada Menkeu agar ada alokasi segera untuk membayar tagihan Pertamina sebagai badan usaha kepada pemerintah. Jadi ini PLN juga sama," kata Jonan, di Kantor Kementerian ESDM, di Jakarta, Rabu 27 Desember 2017.
Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengungkapkan, pemerintah memiliki utang ke Pertamina atas subsidi BBM dan Elpiji yang telah disalurkan sebesar Rp 40 triliun, kemudian sebagian telah dibayarkan Rp 5,‎5 triliun.
‎"Itu kan dulu tagihan kita Rp 40 (triliun). TNI Sudah dibayar Rp 5,5 triliun. Kita berharap mungkin kalau enggak akhir tahun ini awal tahun depan sisanya," papar Elia.
Direktur Utama PLN Sofyan Basir melanjutkan, PLN memiliki piutang ke pemerintah lebih dari Rp 10 triliun, atas subsidi listrik yang disalurkan sepanjang 2016 sampai 2017. Rencananya utang pemerintah tersebut akan dibayar akhir tahun ini.
"‎Lebih dari Rp 10 triliun belum dibayar. Baru akan dibayarkan akhir tahun," dia menuturkan.
Advertisement