Liputan6.com, Jakarta Petani tembakau dinilai belum siap menerima dampak negatif pembatasan impor yang dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Aturan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau ini turut memukul mereka.
Ini seperti diungkapkan Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, menyatakan petani memerlukan masa transisi jika aturan ini akan diberlakukan.
“Harusnya Kementerian Perdagangan bertanya kepada semua pihak. Jangan kemudian aturan dikeluarkan sementara petani juga belum siap memenuhi itu semua. Kan itu ada masa transisinya,” ujar dia, Jumat (9/3/2018).
Advertisement
Baca Juga
Kementerian Perdagangan berencana membatasi impor tembakau jenis virginia, burley, dan oriental. Pembatasan ini diperkirakan akan berpengaruh terhadap pasokan bahan baku industri sehingga menurunkan produksi produk hasil tembakau di dalam negeri.
Penurunan produksi industri rokok ini turut membahayakan nasib petani tembakau. Sebab, produksi mereka selama ini banyak menjadi pelengkap. “Kementerian Perdagangan harusnya bertanya juga kepada industri,” tegas Misbakhun.
Misbakhun mengaku kaget saat Kementerian Perdagangan melakukan pelarangan tanpa memerhatikan posisi akan kebutuhan tembakau dalam negeri. “Saya kaget juga ketika Menteri Perdagangan melakukan pelarangan impor tembakau tanpa memerhatikan kebutuhan tembakau dalam negeri,” imbuhnya.
Menurutnya, industri hasil tembakau (IHT) selama ini telah menjalin kemitraan usaha dengan petani tembakau sejak beberapa tahun lalu dan sudah berjalan sangat baik. Kemitraan yang telah berjalan bisa dijadikan model dalam rangka membangun sistem kemitraan antara industri dengan petani yang ideal di Indonesia.
Senada dengan Misbakhun, Anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo sebelumnya juga menyatakan pembatasan impor ini berimbas terhadap penurunan produksi tembakau di Indonesia dan akan berdampak terhadap nasib banyak pihak. Di antara mereka yang paling terpukul adalah para petani tembakau, buruh linting, hingga pedagang.
"Dari 56 juta usaha mikro, kecil dan menengah sebanyak 20 persennya adalah penjual rokok. Kalau pasokan tembakau berkurang akan terjadi kekurangan pasokan dan kelebihan permintaan, sehingga harga jual semakin tinggi," tegas politikus dari Fraksi Partai Gerindra tersebut.
Aturan ini, lanjutnya, juga berpotensi menurunkan produksi IHT di dalam negeri, karena pembatasan justru dilakukan kepada tiga jenis tembakau utama yang menjadi bahan baku rokok yaitu Virginia, Burley, dan Oriental. Padahal, produksi tembakau Virginia dan Burley oleh petani lokal masih sangat minim. Bahkan, tembakau Oriental sama sekali belum diproduksi di Indonesia.
"Dengan pembatasan impor tembakau, industri rokok bisa hancur. Rokok itu sumber pemasukan terbesar ketiga bagi negara dan ini juga untuk anggaran pembangunan negara," kata Bambang.
Target Penerimaan Cukai
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pemerintah menargetkan penerimaan cukai rokok sebesar Rp 148,23 triliun. Jumlah ini setara dengan 95,4 persen dari total target penerimaan cukai sebesar Rp 155,40 triliun.
Kebijakan pengetatan impor harus berpatokan dengan kondisi di lapangan. Saat ini, Indonesia masih kekurangan tembakau 40 persen untuk kebutuhan nasional. "Pabrik rokok harus hidup terus karena itu pasokan tembakau mesti tercukupi. Sebagian besar kekurangan tembakau memang harus diisi dari impor," kata Bambang Haryo.
Sebelumnya diketahui, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution meminta Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita agar menunda keberlakuan Permendag 84/2017 tersebut.
Pada 20 November 2017, Darmin mengirimkan surat bernomor S-310/M.EKON/11/2017, tentang Penundaan Keberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 86 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Rokok Elektrik.
Advertisement