Menko Darmin: Uji Rupiah Tembus 20.000 per Dolar AS Tak Bikin Pasar Terguncang

OJK sudah melakukan uji ketahanan terhadap perbankan dengan asumsi kurs rupiah melemah hingga level 20.000 per dolar AS.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Mei 2018, 16:07 WIB
Diterbitkan 04 Mei 2018, 16:07 WIB
Pelemahan rupiah
Pelemahan rupiah (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan stress test atau uji ketahanan rupiah hingga level Rp 20.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Upaya ini dilakukan untuk menguji daya tahan perbankan terhadap gejolak mata uang Garuda yang mendekati Rp 14.000 per dolar AS. 

Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, kebijakan melakukan stress test rupiah untuk perbankan tersebut tidak akan membuat pasar goyah, mengingat itu hanya merupakan simulasi untuk mengkaji ketahanan rupiah.

"Namanya juga stress test, itu pasti tidak cuma Rp 14.000 yang dia bikin. Kalau stress test, kejadian gini bagaimana kita, kejadian gitu gimana. Katakanlah Rp 20.000, bagaimana dia bilang, oke kan? Makanya ya sudah," ujar Menko Darmin di Kantornya, Jakarta, Jumat (4/5/2018).

Lebih lanjut Menko Darmin mengatakan, strees test bisa saja dilakukan untuk melihat sejauh mana ketahanan perbankan terhadap gejolak rupiah. Namun dia menegaskan, simulasi tersebut bukan berarti pasti akan terjadi.

"Stress test boleh-boleh aja, itu gunanya kan sampai berapa kita mulai bermasalah. Tidak berarti dia (OJK) ingin segitu," tandasnya.

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan kondisi industri perbankan Indonesia akan tetap aman di tengah fenomena pelemahan rupiah. Hal ini dikarenakan OJK sudah melakukan simulasi terkait kondisi pelemahan rupiah.

"Hasilnya kondisi perbankan Indonesia masih cukup kuat," ungkapnya dalam usai Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) beberapa waktu lalu. 

Tak hanya itu, OJK pun telah melakukan stress test terkait suku bunga. Hal ini dengan asumsi suku bunga kredit mengalami kenaikan dalam batas tertentu. Hasilnya perbankan Indonesia secara umum masih cukup kuat.

"Mengenai surat berharga Kalau ada upflow, yield-nya naik, beberapa surat berharga turun terutama surat berharga korporasi. Tapi penurunan itu tidak cukup memengaruhi profit and loss perbankan," jelasnya.

Hal lain yang membuat daya tahan industri perbankan Indonesia, kata Wimboh, masih kuat sebab didukung oleh kapasitas permodalan bank yang cukup tinggi, yaitu mencapai 22 persen.

"Untuk stressing ini, permodalan perbankan kita relatif tinggi," tegas Wimboh.

 

Reporter : Anggun P. Situmorang

Sumber : Merdeka.com

Jumlah Bank Berdampak Sistemik Bertambah Jadi 15 Bank

Ilustrasi Bank
Ilustrasi Bank

Kinerja sektor perbankan nasional terus membaik. Pertumbuhan kredit melonjak dan pengumpulan dana pihak ketiga (DPK) terus terjaga, sedangkan untuk jumlah bank sistemik bertambah. 

Ketua Dewan Komisaris Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, OJK mencatat perbaikan di Industri keuangan. Hal ini tampak dari membaiknya pertumbuhan kredit.

Maret 2018, tercatat pertumbuh kredit sebesar 8,54 persen (yoy). Angka tersebut lebih baik dibandingkan Februari lalu, yang sebesar 8,22 persen (yoy).

"Untuk DPK sedikit menurun, bulan lalu, 8,44 persen yoy, sekarang (Maret 2018), 7,66 persen. Ini juga sangat fluktuatif. Trennya selalu meningkat," ungkapnya usai Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), di Bank Indonesia pada 30 April 2018. 

Selain itu, rasio kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) juga mengalami perbaikan. NPL pada Februari 2018 adalah 2,88 persen, sedangkan pada Maret 2018 NPL turun ke 2,75 persen.

"Kita harapkan terus-menerus turun karena proses konsolidasi dan restrukturisasi kredit di industri perbankan akan semakin baik," ujarnya.

OJK juga mencatat ada penambahan jumlah bank sistemik. Jika pada September 2017 lalu terdapat 11 bank sistemik, maka pada April 2018 jumlah tersebut menjadi 15 bank.

"Kita update setiap 6 bulan April dan September. Sebelumnya, ada 11 bank sekarang 15 bank. Kenaikan ini karena dari indikator yang ada, mengalami kenaikan di antaranya size, interconektiveness. Ini juga sudah dididikusikan dengan BI," kata dia.

"Nanti ada yang namanya capital surcharge dan penerapannya secara gradual, kalau kita lihat dengan surcharge yang ada ini tidak akan mengganggu permodalannya. Kedua, bank sistemik itu harus membuat recovery plan," tandas Wimboh.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya