Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia menyatakan terus melakukan komunikasi dengan pemerintah Amerika Serikat (AS) terkait rencana mengenakan tarif bea masuk bagi 124 produk asal Indonesia. Namun demikian, Indonesia juga menyiapkan langkah antisipasi dari kebijakan tersebut.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengungkapkan, pengenaan tarif bea masuk tersebut merupakan bagian dari langkah AS mengkaji ulang kebijakan Generalized System of Preference (GPS) untuk sejumlah negara, termasuk Indonesia. GSP yaitu fasilitas keringanan bea mausk dari negara maju untuk produk-produk ekspor negara berkembang.
"Sesuatu yang biasa GSP di-review. GSP tidak mencerminkan sesuatu hal dengan perdagangan Indonesia. Semua negara yang punya GSP di-review, tapi Indonesia jadi salah satu negara yang dilakukan review tahun ini," ujar dia di Istana Bogor, Senin (9/7/2018).
Advertisement
Baca Juga
Dia mengungkapkan, Indonesia hanya menempati urutan ke-17 sebagai negara mitra dagang AS. Dengan demikian, review GSP ini tidak akan berdampak signifikan bagi perdagangan kedua negara.
"Tadi kita lihat geopolitik, Indonesia di AS ranking 17 dan juga dari segi impor dan ekspor. Kami tidak melihat ini akan menjadi ancaman yang besar bagi Indonesia. Kita komunikasi dan lakukan pembicaraan," kata dia.
Namun demikian, lanjut Airlangga, Indonesia tidak akan menyerah begitu saja dengan kebijakan dagang yang diterapkan AS. Menurut dia, Indonesia tetap akan mengoptimalkan ekspor produk-produk unggalan ke Negeri Paman Sam.
"Terhadap sektor yang belum dimanfaatkan pemerintah akan sosialisasi terhadap produk yang masih di dalam GSP yang bisa dimanfaatkan untuk ekspor ke AS. Ini kita akan lakukan kajian, misal prioritasnya kelapa sawit, industri tekstil dan harmonisasinya perlu diringankan. Sektor lain seperti otomotif, pembicaraan dengan Vietnam jadi prioritas. Ada beberapa prioritas yang dibahas," tandas dia.
Aksi Balasan terhadap Kebijakan Bea Masuk AS Bakal Rugikan RI
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan, jika pemerintah Indonesia juga mengenakan tarif bea masuk terhadap komoditas asal AS--khususnya yang masuk dalam kategori bahan baku--ini akan berdampak pada harga barang konsumsi yang diproduksi di dalam negeri.
"Apabila nanti pemerintah Indonesia melakukan retaliasi alias pembalasan dagang dengan naikkan tarif bea masuk produk asal AS, pasti efek kepada kenaikan harga bahan kebutuhan pokok langsung terasa," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com.
Dia mencontohkan, saat ini Indonesia bergantung pada kedelai asal AS. Kedelai ini digunakan sebagai bahan baku produk makanan dan minuman di dalam negeri.
"Per tahunnya Indonesia mengimpor kedelai segar dan olahan hingga 6,9 juta ton. Dari AS sendiri impor kedelainya mencapai 2,6 juta ton atau 37 persen dari total impor kedelai. Bahan baku Kedelai harganya naik pasti harga tempe tahu akan naik juga," jelas dia.
Selain kedelai, Indonesia juga masih ketergantungan terhadap gandum asal AS. Komoditas ini menjadi bahan baku bagi produk makanan olahan seperti mi instan dan roti.
"Soal gandum kita impor dari AS volume 1,1 juta ton per tahun. Gandum juga sama, sebagai bahan baku mi instan. Intinya yang akan terpukul pertama kali adalah kelompok masyarakat miskin," tandas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement