Hingga Akhir Agustus, Penyaluran Premium Capai 5,2 Juta KL

Kepala BPH Migas, Fanshurullah Asa, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI menyampaikan data penyaluran premium mencapai 44,29 persen.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 28 Agu 2018, 18:30 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2018, 18:30 WIB
Premium.
Petugas mengisi BBM ke kendaraan konsumen di SPBU Abdul Muis, Jakarta, Senin (2/7). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta BPH Migas memastikan penyaluran jenis BBM Khusus Penugasan (Premium) hingga 27 Agustus 2018 masih aman terkendali. Dengan begitu, BPH Migas optimis hingga akhir tahun kuota ini tidak akan jebol.

Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI menyampaikan data penyaluran premium mencapai 44,29 persen.

"Jadi dari kuota yang ditetapkan sebesar 11,8 juta kilo liter (KL), realisasinya sudah 5.226.120 KL atau 44,29 persen. Sehingga masih ada 6.673.880 KL," kata dia di Gedung DPR RI, Selasa (28/8/2018).

Sementara untuk penyaluran jenis BBM Tertentu (solar dan minyak tanah), Fanshurullah mengatakan juga masih terkendali.

Untuk Solar, yang ditetapkan penyaluran di 2018 sebesar 14.620.000 KL sudah disalurkan sebesar 9.740.708 atau setara 66,63 persen. Sebagai antisipasi jebolnya kebutuhan, diluar itu telah dicadangkan solar kuota 1 juta KL.

Sementara untuk minyak tanah hingga 27 Agustus 2018 telah disalurkan 346.742 KL dari kuota yang ditetapkan sebesar 610.000 atau baru disalurkan 57,84 persen.

"Melihat hal ini, dipastikan sampai akhir 2018 akan aman," tegasnya.

 

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Pertamina Evaluasi Harga Pertamax Cs di September 2018

Harga Pertamax Naik
Petugas mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke kendaraan konsumen di SPBU Abdul Muis, Jakarta, Senin (2/7). PT Pertamina (Persero) secara resmi menaikkan harga Pertamax Cs akibat terus meningkatnya harga minyak dunia. (Liputan6.com/Johan Tallo)

PT Pertamina (Persero) sedang mengevaluasi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi untuk periode September 2018.

Vice President Retail Fuel Marketing Pertamina Jumali ‎mengatakan, setelah menaikkan harga BBM pada Juli 2018, Pertamina kembali mengevaluasi harga yang ditetapkan saat ini.

Langkah ini untuk mengambil keputusan penetapan harga pada September 2018. "Sedang dievaluasi kan kemarin kan baru naik Juli," kata Jumali, di Jakarta, Selasa (14/8/2018).

Menurut Jumali, Pertamina belum mengajukan usulan harga baru ke Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk periode September 2018, sebab penetapan harga belum jadi keputusan. "Sedang kita evaluasi secara internal," tegasnya.

Seperti diketahui, Pertamina menaikkan harga Pertamax Cs mulai 1 Juli 2018 pukul 00.00 WIB. Kenaikan harga bahan bakar minyak nonsubsidi itu akibat terus meningkatnya harga minyak dunia.

"Minyak mentah itu lebih dari 90 persen untuk pembentukan harga. Apalagi sekarang kita sudah jadi negara pengimpor minyak," kata Vice President Corporate Communication, Adiatma Sardjito saat dihubungi Liputan6.com.

Tak hanya harga minyak yang meroket, kenaikan harga Pertamax Cs juga dipicu menguatnya nilai tukar dolar terhadap rupiah. "Meski kontribusinya tidak begitu besar," terang dia.

Khusus di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jakarta, Jawa Barat dan Banten, harga Pertamax naik Rp 600 menjadi Rp 9.500 per liter. Kemudian harga Pertamax Turbo naik Rp 600 menjadi Rp 10.700 per liter.

Sementara harga Pertamina Dex naik Rp 500 menjadi Rp 10.500 per liter. Harga Dexlite naik Rp 900 menjadi Rp 9.000 per liter. Sedangkan Pertamax racing tetap Rp 42.000, dan Pertalite masih dibanderol Rp 7.800 per liter. Harga solar nonsubsidi, premium dan biosolar juga tak berubah.

Tak hanya di Jawa Bagian Barat, Pertamina juga menyesuaikan harga untuk harga BBM nonsubsidi di seluruh provinsi di Indonesia. Namun, lanjut Adiatma, ada juga 2 provinsi yang turun harga yaitu Maluku dan Maluku Utara."Alasannya karena daya beli di sana rendah dan konsumsinya juga kecil. Dengan turunnya harga, semoga bisa meningkatkan konsumsi di sana," terangnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya