Di DPR, Sri Mulyani Beberkan Alasan Target Ekonomi RI Tumbuh 5,3 Persen pada 2019

Pemerintah menetapkan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen dalam RAPBN 2018.

oleh Merdeka.com diperbarui 10 Sep 2018, 13:00 WIB
Diterbitkan 10 Sep 2018, 13:00 WIB
Sri Mulyani, Yasonna Laoly, dan Bambang Brodjonegoro Rapat Kerja Bersama DPR
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Menkumham Yasonna Laoly saat rapat kerja dengan Banggar DPR, Jakarta, Selasa (4/9). Rapat kerja membahas penyampaian pokok-pokok RUU APBN 2019 serta pembentukan Panja dan tim perumus. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menghadiri rapat kerja dengan komisi XI DPR RI pada Senin (10/9/2018).

Rapat kerja tersebut untuk membahas pengambilan keputusan asumsi dasar ekonomi makro Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2019.

Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani menjelaskan pertimbangan pemerintah dalam menetapkan asumsi ekonomi makro pada 2019.

Beberapa di antaranya pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, inflasi, harga minyak dan suku bunga SPN 3 bulan. 

Untuk penetapan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen pada 2019. Kondisi ekonomi global tak luput dari pertimbangan pemerintah. Dinamika ekonomi global masih terus berlangsung dipicu oleh kebijakan ekonomi Amerika Serikat. 

"Pertama normalisasi kebijakan ekonomi Amerika Serikat. Pertama, suku bunga dan tingkat likuiditas. Normalisiasi artinya menyesuaikan kembali tingkat suku bunga," ujar Sri Mulyani di Gedung DPR, Jakarta, Senin (10/9/2018).

Sri Mulyani mengatakan, beberapa kuartal terakhir sejak 2017 hingga 2018 bank sentral Amerika Serikat telah menaikan suku bunga sebanyak 175 basis poin. Hal ini kemudian berdampak secara keseluruhan kepada seluruh ekonomi dunia. 

"Implikasi dari normalisasi kebijakan moneter tentu bersifat sangat global karena mata uang Amerika Serikat adalah mata uang yang digunakan di seluruh dunia," ujar dia. 

Tidak hanya normalisasi moneter, kebijakan perdagangan ekonomi Amerika Serikat juga berdampak pada perekonomian global. Perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok diprediksi masih meluas ke negara lain. 

"Pertumbuhan negara di seluruh dunia masih di 3,9 persen. Di mana AS paling kuat, pertumbuhannya 2,9 persen. Eropa akan menurun sedikit ke 2,2 persen terutama disumbang negara besarnya. Perancis juga turun, Italia lebih rendah," ujar dia.

Dalam rapat tersebut, Sri Mulyani didampingi oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bappenas Bambang Brodjonegoro, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara, dan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto.

 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Ini Syarat agar Ekonomi RI Bisa Tumbuh 5,3 Persen pada 2019

Investasi Meningkat, Ekonomi Indonesia Kuartal 1 Tumbuh 5,06 Persen
Pekerja menyelesaikan pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Senin (7/5). Pertumbuhan ekonomi kuartal 1 2018 tersebut lebih baik dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada periode sama dalam tiga tahun terakhir. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Sebelumnya, Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) menyatakan ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun depan bisa mencapai 5,3 persen.

Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta mengatakan, pertama yaitu konsumsi rumah tangga yang pertumbuhannya harus dijaga di atas 5 persen. Hal ini penting mengingat kontribusi rumah tangga mencapai hampir 60 persen terhadap PDB.

"Kontributor utamanya kan konsumsi rumah tangga, itu harus dijaga agar tumbuh di atas 5 persen. Untuk mencapai itu (5,3 persen) kita harus menjaga daya beli masyarakat. Karena hampir 60 persen konsumsi rumah tangga berkontribusi terhadap PDB," ujar dia dalam Workshop Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Peningkatan Akses terhadap Bundling Layanan Keuangan dan Nonkeuangan di Jakarta, Senin 20 Agustus 2018.

Kedua, impor yang dilakukan bersifat produktif. Artinya, impor tersebut dilakukan dalam rangka menciptakan barang dengan nilai tambah yang tinggi sehingga bisa diekspor dan menghasilkan devisa.

"Impor memang harus benar-benar berkait natural hedging. Jadi kita beli dolar untuk beli barang, kemudian diolah di dalam negeri, kemudian dijual lagi dan menghasilkan dolar. Jadi, harus impor yang produktif dan menghasilkan devisa, sehingga neraca perdagangan kita minimal balance tidak negatif," jelas dia.

Ketiga, yaitu investasi yang harus tumbuh lebih baik. Hal perlu menjadi perhatian pemerintah terutama memasuki tahun politik di 2019.

‎"Kemudian investasi minimal harus tumbuh 7 persen. Kalau semua berjalan normal, saya yakin kita mampu tumbuh lebih dari 5,3 persen di 2019," kata dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya