Indef Minta Pemerintah Evaluasi Investasi Tiongkok di RI

Langkah evaluasi penting untuk melihat kemungkinan semua investasi yang masuk mengakselerasi ekonomi atau sebaliknya menjadi beban ekonomi.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 16 Okt 2018, 15:16 WIB
Diterbitkan 16 Okt 2018, 15:16 WIB
20151113-Ilustrasi Investasi
lustrasi Investasi Penanaman Uang atau Modal (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai pemerintah perlu mengkaji ulang investasi asing di Indonesia terutama dari Tiongkok.

“Selama ini tidak ada yang mengevaluasi investasi yang masuk dan akan masuk, mana yang dilanjutkan dan mana yang tidak dilanjutkan,” ujar dia, Selasa (16/10/2018).

Langkah evaluasi penting untuk melihat kemungkinan semua investasi yang masuk mengakselerasi ekonomi atau sebaliknya menjadi beban ekonomi.

Evaluasi tersebut bisa dilakukan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau Kemenko Perekonomian.

Beberapa negara dilaporkan melihat indikasi tersendatnya realisasi dari komitmen investasi Tiongkok. Seperti Malaysia, Singapura, Pakistan, Sri Langka, Vietnam, dan Mesir.

Bahkan, Malaysia baru-baru ini mengkaji ulang mega-proyek investasi Tiongkok di negaranya karena dianggap tidak tepat sasaran.

Belajar dari Malaysia, investasi Tiongkok dievaluasi secara politik setelah ada pergantian rezim. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa investasi tersebut tidak menguntungkan kepentingan nasional sehingga dibatalkan. Selain itu, investasi tersebut ditengarai sarat nepotisme dan kolusi.

Terkait Indonesia, meskipun tidak ada korupsi dan kolusi, Enny mengatakan evaluasi investasi asing menjadi perlu. Salah satunya agar investasi asing tidak berimplikasi pada ketergantungan bahan baku impor.

“Termasuk terhadap penyerapan tenaga kerja, kalau kita lihat data pertumbuhan investasi asing dan pertumbuhan tenaga kerja tidak sepadan,” imbuh dia.

 

Tenaga Kerja

20151113-Ilustrasi Investasi
lustrasi Investasi Penanaman Uang atau Modal (iStockphoto)

Di Indonesia, kata Enny, yang banyak dikeluhkan dari investasi Tiongkok terkait tenaga kerja asing. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya harmonisasi antara Undang-undang Ketenagakerjaan dengan persetujuan investasi baru oleh pemerintah.

“Jadi ada beberapa investasi baru ketika investasinya mencapai sekian miliar dollar AS memang diperkenankan membawa tenaga kerja asing. Tetapi boleh ini tetap harus memenuhi ketentuan yang ada di UU Ketenagakerjaan, bahwa yang diperbolehkan hanya tenaga kerja profesional, nah ini yang mesti ditertibkan,” jelas dia.

Dalam hal ini, ketentuan positioning tenaga kerja asing penting dilakukan sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. 

Enny menegaskan saat ini investasi yang dibutuhkan Indonesia adalah yang memberikan nilai tambah dan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja terutama sektor manufaktur padat karya.

Sedangkan menurut data BKPM, investasi Tiongkok hanya masuk ke sektor primer dan tersier yakni sektor pertambangan dan sektor jasa.

“Kalau hanya investasi di sektor primer dan tersier itu kan nilai tambah dan kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja tidak sepadan, jadi tidak perlu diberikan karpet merah juga,” katanya.

Menurut data yang dirilis oleh BKPM, terhitung sejak tahun 2011 Tiongkok komitmen investasi Tiongkok mencapai hampir USD 53 milliar, namun realisasinya baru mencapai sekitar USD 9 miliar atau baru sekitar 16,9 persen sejak 2011.

Tentunya realisasi komitmen investasi yang cenderung lambat dari investor Tiongkok ini, sangat berpengaruh pada rencana pembangunan nasional. Apalagi bila investasi yang dijanjikan terkait dengan sejumlah sektor-sektor strategis nasional seperti infrastruktur dan industri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya