Banyak Masyarakat Jadi Korban Pinjaman Online, Ini Kata Asosiasi Fintech

Usai pos pengaduan korban pinjaman online ditutup pada 25 November 2018, LBH Jakarta menerima 1.330 pengaduan dari 25 provinsi di Indonesia.

oleh Nurmayanti diperbarui 11 Des 2018, 12:21 WIB
Diterbitkan 11 Des 2018, 12:21 WIB
Fintech
Ilustrasi fintech. Dok: sbs.ox.ac.uk

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah masyarakat mengadukan jika mereka telah menjadi korban dari peminjaman online. Bunga tinggi, pelecehan seksual dan lainnya menjadi sejumlah aduan yang dilaporkan kepada LBH Jakarta.

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) buka suara terkait ini. Wakil Ketua Umum AFPI, Sunu Widyatmoko mengaku jika dalam 3 bulan terakhir, pihaknya dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah banyak melakukan kegiatan Proaktif dan Preventif dalam rangka memberikan perlindungan kepada konsumen.

AFPI mengapresiasi upaya bantuan hukum yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kepada masyarakat yang mengaku telah menjadi korban pinjaman online. Harapannya, kawan-kawan LBH juga dapat menjadi bagian penting dalam upaya edukasi dan perlindungan konsumen fintech lending di Tanah Air.

“Secara preventif, kami telah menetapkan kode etik operasional Fintech yang banyak melindungi konsumen, seperti diantaranya, larangan mengakses kontak, dan juga penetapan biaya maksimal pinjaman. Secara proaktif, bersama Otoritas Jasa Keuangan, kami juga aktif mengundang rekan-rekan dari LBH yang menerima laporan dari masyarakat untuk melakukan sosialisasi terkait hal ini,” jelas Sunu seperti dikutip Selasa (11/12/2018).

Sunu mengaku, pihaknya bersama dengan OJK telah mengundang berbagai lembaga termasuk LBH Jakarta, LBH lainnya, Kemenkominfo, Google Indonesia, Bareskrim, Satgas Waspada Investasi, untuk membahas hal-hal penanganan isu korban pinjaman online. Pertemuan berlangsung pada 14 dan 23 November 2018.

“AFPI memandang perlindungan konsumen fintech lending sebagai hal yang sangat serius, sehingga perlu mendapat informasi secara langsung dari pihak-pihak terkait secara lugas dan transparan, agar kami dapat mengambil tindakan administratif secara tegas, apabila terbukti telah terjadi pelanggaran,” tutur dia.

Tindakan administratif atas pelanggaran perlindungan konsumen, dapat dalam bentuk Peringatan Tertulis, Pembekuan Kegiatan Usaha, sampai dengan Pencabutan atau Pembatalan Tanda Terdaftar.

Dia menuturkan, kedua pertemuan pada 14 dan 23 November 2018 tersebut dimaksudkan agar semua pihak terkait dapat memberi kontribusi pemikiran dan masukan terbaik bagi upaya edukasi dan perlindungan konsumen.

"Sangat disayangkan, dalam 2 kali undangan dimaksud, hanya LBH Jakarta yang secara konsisten tidak bisa hadir, namun di sisi Media secara konsisten menyampaikan opininya mengenai korban pinjaman online, Fintech, dan bahkan OJK secara umum," tegas dia.

Namun dia mengaku jika AFPI mengapresiasi LBH yang menampung sejumlah keluhan dari konsumen Fintech dan siap membantu lembaga ini dan berwajib dalam menyelesaikan kasus yang dialami para konsumen ini.

AFPI tetap membuka ruang diskusi dan tetap akan mengundang pihak-pihak terkait yang memang benar-benar secara tulus dan ikhlas berniat untuk memberi sumbangan pemikiran terbaik, secara khusus dalam rangka perlindungan konsumen di Tanah Air.

“Peran pihak-pihak terkait dalam berbagi data dan informasi akan sangat berguna bagi kami dalam upaya mewujudkan industri fintech lending yang sehat dan bermanfaat bagi masyarakat luas,” tutur Sunu.

Dia menyadari bahwa untuk menerapkan kode etik operasional memang banyak tantangannya, karena dalam proses operasional penagihan misalnya, akan melibatkan unsur manusia. Sebagai mahluk sosial dan emosional, manusia juga memiliki keterbatasan. Untuk itulah, secara rutin para pelaku Fintech terus memperbaiki proses operasional termasuk penagihannya.

AFPI kini memiliki 75 anggota perusahaan Fintech yang seluruhnya telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. “Kami hadir untuk menjaga agar industri Fintech ini dapat berperan positif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara riil melalui inklusi keuangan yang lebih menyeluruh, dan dalam praktiknya selalu menjunjung kode etik yang melindungi hak-hak konsumen,” tutup Sunu.

LBH Jakarta Desak OJK Tuntaskan Masalah 1.330 Korban Pinjaman Online

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menggelar konferensi pers terkait permasalahan hukum yang terjadi pada korban aplikasi peminjaman online. Liputan6.com/Bawono Yadika
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menggelar konferensi pers terkait permasalahan hukum yang terjadi pada korban aplikasi peminjaman online. Liputan6.com/Bawono Yadika

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi pada korban aplikasi peminjaman online.

Usai pos pengaduan korban pinjaman online ditutup pada 25 November 2018, LBH Jakarta menerima 1.330 pengaduan dari 25 provinsi di Indonesia.

"Jika pemerintah dan OJK tidak segera menyelesaikan masalah ini maka akan semakin banyak orang yang menjadi korban," ujar Pengacara Publik di Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait di Kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (09/12/2018).

Jeanny menjelaskan, baik ilegal atau tidak, laporan pengaduan korban pinjaman online sebaiknya dapat ditindaklanjuti OJK. Masyarakat dikatakan harus mendapat perlindungan atas pelanggaran hukum yang terjadi itu.

"Ilegal dan legal itu sama saja. Jika alasan OJK menolak pengaduan masyarakat dengan alasan ilegal, ya itu terpatahkan dengan 1.330 pengaduan ini. Kita bisa saja tuntut atau pidanakan OJK. Sangat mungkin. Instrumen hukumnya juga tersedia," jelas dia.

Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta, 25 dari 89 penyelenggara aplikasi pinjaman online yang dilaporkan kepada LBH Jakarta merupakan penyelenggara aplikasi yang terdaftar di OJK.

Ini menunjukan bahwa terdaftarnya penyelenggara aplikasi pinjaman online di OJK, tidak menjamin minimnya pelanggaran.

"Aplikasi yang dilaporkan ke kami 71,29 persen memang bukan aplikasi terdaftar di OJK. Tapi ada 28,08 persen yang terdaftar di OJK. Totalnya ada 89 aplikasi. Jadi 28 persen dari 89 itu ada 25 aplikasi terdaftar di OJK," ujarnya.

Jeanny pun mendesak pihak kepolisian turut mengusut tuntas tindak pidana yang dilaporkan penyelenggara aplikasi pinjaman online itu.

"Karena ini semua merupakan bentuk praktik buruk yang dilakukan hanya untuk menarik keuntungan dan memiskinkan masyarakat," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya