Liputan6.com, Houston - Harga minyak catatkan kerugian tahunan untuk pertama kalinya sejak 2015, usai mengalami volatilitas yang sangat tinggi pada kuartal terakhir di 2018.
Dalam empat bulan terakhir 2018, pelaku pasar berlomba-lomba melepas minyak karena kekhawatiran kelebihan pasokan sehingga membuat harga minyak anjlok cukup dalam.
Mengutip Reuters, Selasa (1/1/2019), sepanajang 2018 harga minyak mentah berjangka AS atau Intermediate West Texas Intermediate (WTI) AS merosot hampir 25 persen, sementara harga minyak Brent anjlok lebih dari 19,5 persen.
Advertisement
Baca Juga
Sebenarnya, pasar minyak telah berada di jalur keuntungan yang cukup solid sejak awal tahun hingga Oktober. Namun ketiga AS memberikan keringanan sanksi kepada Iran dan juga permintaan dari negara berkembang merosot, harga minyak mulai tertekan.
Kedua sentimen tersebut membuat harga minyak turun tajam dari level tertinggi. Harga minyak AS sempat menyentuh angka USD 76 per barel dan Brent mencapai USD 86 per barel.
Bahkan, upaya OPEC dan beberapa negara sekutu seperti Rusia mencoba menahan penurunan dengan mengurangi produksi minyak mentah pun tidak mampu menahan pelemahan harga minyak.
"OPEC telah bekerja keras untuk memotong produksi sehingga diharapkan mampu menahan pelemahan harga minyak, tetapi sepertinya pelaku pasar tidak menganggap upaya tersebut," jelas analis senior RJO Futures Phillip Streible.
Harga minyak turun lebih dari sepertiga kuartal ini, penurunan kuartalan paling curam sejak kuartal keempat 2014.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Prediksi 2019
Para analis memperkirakan harga minyak masih akan mengalami tekanan pada 2019. Survei Reuters terhadap 32 ekonom dan analis memperkirakan harga minyak Brent rata-rata di USD 69,13 per barel pada 2019.
Angka tersebut di bawah proyeksi analis sebulan lalu, dan di bawah harga riil rata-rata 2018 yang ada di angka USD 71,76 per barel.
Harga minyak Brent, yang menjadi patokan global, naik hampir sepertiga antara Januari dan Oktober, ke level tertinggi di USD 86,74 per barel. Itu adalah level tertinggi sejak akhir 2014.
Namun kemudian mengalami kemerosotan yang dalam di tengah melimpahnya pasokan global.
Advertisement