Liputan6.com, Houston - Harga minyak turun 3 persen pada penutupan perdagangan Selasa karena kekhawatiran perlambatan ekonomi dunia usai China mengumumkan bahwa ekonomi di negara tersebut mengalami pertumbuhan paling lambat dalam 28 tahun.
Selain itu, ramalan pertumbuhan global yang suram oleh Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund(IMF) membebani harga minyak mentah karena para pedagang khawatir tentang pasokan yang meningkat pada 2019 meskipun harga lebih rendah.
Ditambah lagi, sentimen kekenyangan pasokan juga menjadi dasar penurunan harga minyak. Pelaku pasar melihat produksi besar-besaran AS tidak dapat diimbangi oleh pemangkasan produksi yang dilakukan oleh OPEC dan sekutu.
Advertisement
Baca Juga
Mengutip Reuters, Rabu (22/1/2019), harga miyak mentah berjangka Brent turun USD 1,82 atau 2,9 persen ke level USD 60,92 per barel. Sedangkan harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS turun USD 1,57 atau 2,9 persen menjadi USD 52,23 per barel.
Data dari Arab Saudi pada Senin kemarin menunjukkan ekspor minyak mentah pada November naik menjadi 8,2 juta barel per hari dari 7,7 juta barel per hari pada Oktober. Hal tersebut terjadi karena produksi naik menjadi 11,1 juta barel per hari.
"Kami melihat penurunan yang sangat besar pada rig (pengeboran minyak AS) pada Jumat, tetapi tergantung pada apakah Arab Saudi benar-benar akan melakukan pemotongan ini," jelas Tariq Zahir, managing member Tyche Capital, New York, AS.
Analis juga memperkirakan, kekhawatiran pasar atas kedalaman pemotongan produksi oleh OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, juga mendorong harga minyak lebih rendah pada perdagangan Selasa.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Masalah Pemotongan Produksi
Menteri Energi Rusia Alexander Novak tidak akan terbang ke Swiss untuk menghadiri forum ekonomi dunia Davos. Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu jurubicara Kementerian Energi Rusia.
Novak sebelumnya mengatakan bahwa dirinya akan bertemu dengan Menteri Energi Arab SAudi Khalid al-Falih di Davos.
Falih sebelumnya mengkritik pengurangan produksi yang dijalankan oleh Rusia lebih lambat dari yang diharapkan, menurut laporan Bloomberg.
Advertisement