Rupiah Kembali Melemah, Investor Tak Yakin Penyelesaian Perang Dagang

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 13.975 per dolar AS hingga 13.997 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 08 Feb 2019, 11:00 WIB
Diterbitkan 08 Feb 2019, 11:00 WIB
Nilai Tukar Rupiah Menguat Atas Dolar
Teller tengah menghitung mata uang dolar di penukaran uang di Jakarta, Junat (23/11). Nilai tukar dolar AS terpantau terus melemah terhadap rupiah hingga ke level Rp 14.504. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah tipis pada perdagangan Jumat ini. Pelaku pasar pesimistis terhadap langkah penyelesaikan perang dagang.

Mengutip Bloomberg, Jumat (8/2/2019), rupiah dibuka di angka 13.975 per dolar AS, melemah tipis jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.972 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 13.975 per dolar AS hingga 13.997 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah menguat 2,83 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), Rupiah dipatok di angka 13.992 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 13.978 per dolar AS.

Analis ekonomi Samuel Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih memprediksi nilai tukar rupiah akan kembali bergerak melemah dipicu pesimisme yang kembali muncul pada pelaku pasar atas penyelesaian perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China.

"Kemungkinan kurs rupiah melemah karena isu perang dagang AS-China," ujar Lana seperti dikutip dari Antara.

Kendati belum ada pernyataan resmi, tetapi pernyataan Presiden Donald Trump bahwa tidak ada pertemuan tingkat tinggi dengan Presiden China Xi Jinping, seperti mengkonfirmasi potensi kebuntuan pembicaraan mengenai kesepakatan dagang tersebut pada saat ini.

Efek perang dagang antara AS dan China terhadap perdagangan global, kata Lana, mulai terlihat. Neraca transaksi berjalan Jepang misalnya, mencatatkan surplus pada Desember 2019, semakin kecil sejak empat bulan terakhir. Penurunan surplus tersebut terutama berasal dari neraca barang yaitu ekspor-impor Jepang.

Ia mengatakan kekhawatiran utama efek perang dagang AS-China berdampak pada melambatnya ekonomi global. Dana Moneter Internasional (IMF) juga merevisi proyeksi turun pertumbuhan ekonomi global dari 3,3 persen menjadi 3,1 persen untuk 2019.

"Kurs rupiah kemungkinan melemah ke tingkat 13.980 per dolar AS sampai 14.000 per dolar AS," kata Lana.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Alasan BI Yakin Rupiah Bakal Menguat Sepanjang 2019

Rupiah Tetap Berada di Zona Hijau
Teller menunjukkan mata uang rupiah dan dolar di Bank Mandiri, Jakarta, Kamis (10/1). Hingga hari ini, US$ 1 dibanderol Rp 14.020. Rupiah menguat 0,71% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo optimistis, nilai tukar rupiah akan terus perkasa sepanjang 2019.

"Kami melihat bahwa nilai tukar rupiah ke depannya akan stabil dan cenderung menguat," kata Perry dalam paparan KSSK, di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, pada Selasa 29 Januari 2019.

Perry menuturkan, ada empat faktor yang akan mendorong tren penguatan nilai tukar tersebut. Salah satu adalah ketidakpastian ekonomi global yang kian menurun pada 2019. 

Selain itu, The Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral AS dipastikan tidak akan seagresif tahun lalu untuk mengerek suku bunga acuannya. 

"Karena kenaikan suku bunga The Fed hanya dua kali (tahun ini), sehingga laju kenaikannya lebih rendah dari tahun sebelumnya," ujar dia. 

Faktor kedua adalah tingkat kepercayaan investor terhadap kondisi ekonomi domestik di tanah air akan terus seiring derasnya aliran masuk modal asing yang sudah dimulai sejak kuartal akhir 2018.

Faktor selanjutnya adalah fundamental ekonomi Indonesia yang diklaim semakin kuat ditandai angka pertumbuhan ekonomi yang baik, tingkat inflasi rendah, dan defisit anggaran yang lebih rendah dari target.

"Terakhir, mekanisme pasar yang lebih baik akan mendukung stabilitas nilai tukar pada 2019," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya