Saingi Vietnam, Jokowi Kaji Gratiskan Lahan Bagi Industri Orientasi Ekspor

Pemerintah Vietnam menawarkan pembebasan lahan dilakukan oleh negara sehingga para investor tinggal merealisasikan investasi.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 12 Mar 2019, 15:24 WIB
Diterbitkan 12 Mar 2019, 15:24 WIB
Jokowi Tinjau Proyek Terowongan Nanjung di Bandung
Presiden Joko Widodo atau Jokowi meninjau proyek Terowongan Nanjung di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (10/3). Terowongan Nanjung dibangun untuk memperlancar aliran Sungai Citarum. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) geram dengan tingkat realisasi investasi di Indonesia tak secepat yang diharapkan. Padahal saat ini Indonesia tengah bersaing dengan Vietnam dalam menggaet investor untuk menanamkan modalnya di masing-masing negara.

Diakui Jokowi, ada beberapa kebijakan yang bagi investor lebih menarik dibandingkan Indonesia, yaitu dalam hal pembebasan lahan. Pemerintah Vietnam menawarkan pembebasan lahan dilakukan oleh negara sehingga para investor tinggal merealisasikan investasi.

"Banyak investor yang sudah ke Indonesia tapi mereka balik badan pergi ke Vietnam, di sana lahan sudah dibebasin, tidak usah beli. Saya mau coba juga kita siapkan lahan buat investor, investor tidak usah beli, tidak usah sewa, langsung dirikan pabrik saja," tegas Jokowi dalam Peresmian Pembukaan Rakornas Investasi 2019 yang diselenggarakan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di ICE BSD, Tangerang Selatan, Selasa (12/3/2019).

Hanya saja, ada satu syarat yang diberikan Jokowi, yaitu investor yang mendapatkan fasilitas lahan gratis ini adalah investor yang siap menanamkan modal untuk industri yang berorientasi ekspor atau memiliki nilai tambah.

Dalam wacananya, lokasi lahan yang memungkinkan adalah di luar Pulau Jawa. Selain masih terdapat lahan yang luas, dengan begitu membantu pemerataan ekonomi Indonesia itu sendiri.

Dia mencontohkan, saat ini banyak industri kerajinan berbahan dasar kayu dari Tiongkok yang ingin merelokasi pabriknya ke luar negeri. Ini sebagai dampak perang dagang yang dilakukan Tingkok dengan Amerika Serikat.

Namun para investorasal Tiongkok tersebut justru berbondong-bondong pindah pabriknya ke Vietnam. Padahal semua bahan baku berupa kayu, rotan dan lainnya diimpor dari Indonesia.

"Saya paling greget, kita tahu kesalahan kita, kita ngerti solusinya, kita ngerti jalan keluarnya tapi kita tidak bisa tuntaskan. Saya akan lihat alur mana yang masih tidak bener di titik tertentu. Dan saya akan temukan itu, tunggu saja," tegas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Industri Non Migas Jadi Andalan Ekspor Indonesia

Pertumbuhan Ekspor Kuartal III 2018 Menurun
Kapal mengangkut peti kemas dari JICT, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (6/11). Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekspor kuartal III/2018 mencapai 7,7 persen, berbanding jauh dengan kuartal III/2017 sebesar 17,26 persen. (Merdeka.com/ Iqbal S. Nugroho)
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong kinerja industri manufaktur, berorientasi ekspor guna memperkuat struktur perekonomian nasional saat ini. Sebab, produk pengolahan nonmigas menjadi penopang dalam perolehan nilai ekspor Indonesia.
 
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto‎ mengatakan, sejalan dengan arahan Bapak Presiden Joko Widodo,  pertumbuhan ekonomi ke depannya berbasis pada pertumbuhan industri. "Sebab itu pemerintah sedang mencarikan formulanya untuk semakin meningkatkan ekspor," kata Airlangga, di Jakarta, Sabtu (2/3/2019).
 
Di tengah kondisi perlambatan ekonomi di tingkat global, Kemenperin optimistis memasang target pertumbuhan industri nonmigas sebesar 5,4 persen pada  2019. Adapun sektor-sektor yang diproyeksikan tumbuh tinggi, di antaranya industri makanan dan minuman 9,86 persen, permesinan 7. persen, tekstil dan pakaian jadi 5,61 persen, serta kulit barang dari kulit dan alas kaki 5,40 persen.
‎
Menperin Airlangga menjelaskan, dalam upaya mendongkrak ekspor dari sektor industri, perlu diperhatikan tingkat utilisasi. Oleh karenanya, langkah strategis yang dipacu antara lain melalui penambahan investasi dan ekspansi. Ini juga akan membawa dampak pada penyerapan tenaga kerja dan hilirisasi.
 
"Kalau kita lihat, 80 persen impor besar Indonesia adalah bahan baku penolong. Artinya, ini adalah untuk menunjang produktivitas sektor industri. Sisanya capital goods. Tetapi menariknya, ekspor capital goods kita juga meningkat. Ini menandakan kemampuan industri kita sudah kompetitif di kancah global," paparnya.
 
Pada 2018, ekspor nonmigas mencapai USD 162,65 miliar atau naik 6,25 persen dibanding perolehan tahun 2017 sebesar USD153,03 miliar. Rencana Kerja Pemerintah (RKP) menargetkan pertumbuhan ekspor nonmigas tahun ini sebesar 7-9 persen.
 
"Industri konsisten memberikan kontribusi tertinggi terhadap PDB nasional. Salah satunya terlihat dari capaian ekspor, di mana tahun lalu menyumbang sebesar 72,25 persen. Maka ini yang harus kita dorong terus," ungkap Airlangga.
 
Adapun lima sektor manufaktur yang pertumbuhannya di atas lima persen dan memiliki catatan kinerja ekspor gemilang di tahun 2018, yakni industri makanan dan minuman yang nilai ekspornya mencapai USD29,91 miliar, disusul industri tekstil dan pakaian jadi sebesar USD13,27 miliar, serta industri logam dasar USD15,46 miliar.
 
Selanjutnya, industri karet, barang dari karet dan plastik menembus hingga USD7,57 miliar, serta industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki di angka USD5,69 miliar. 
 
Di samping itu, sepanjang 2018, kinerja ekspor positif juga dicatatkan oleh industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia, menorehkan nilai ekspornya sebesar USD13,93 miliar, kemudian ekspor kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer, dan alat angkutan lainnya menembus angka USD8,59 miliar, serta pengapalan barang komputer, barang elekronik dan optik mencapai USD6,29 miliar.
 
Melalui implemenasi peta jalan Making Indonesia 4.0, kita optimistis untuk dorong ekspor lagi jadi 10 persen netto terhadap PDB. Selain itu, produktivitas akan meningkat dua kali serta pengeluaran R&D juga didorong jadi dua persen, tuturnya.
 
Aspirasi besar Making Indonesia 4.0 menargetkan Indonesia masuk dalam jajaran 10 negara dengan perekonomian terkuat di dunia. Bahkan, PricewaterhouseCoopers (PwC) memproyeksi Indonesia berada di peringkat ke-7 dunia. Artinya, kita sudah menyiapkan Nawacita jilid 2, imbuhnya.
 
Dalam upaya menjadikan industri manufaktur sebagai mesin pertumbuhan ekonomi nasional, perlu dilakukan peningkatan prduktivitas, investasi, dan ekspor. Untuk itu, quick wins yang dijalankan oleh pemerintah di antaranya menciptakan iklim bisnis yang kondusif dan memberikan kemudahan pada perizinan usaha. 
 
“Langkah strategis yang telah dilakukan, antara lain pemberian insentif fiskal, penerapan online single submission (OSS), serta pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan vokasi. Kami juga dorong penguatan industri di sektor hulu untuk memenuhi rantai nilainya. Kemudian, fokus pada kemampuan R&D serta fasilitasi trade agreement," tandasnya.
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya