HEADLINE: Pemerintah Ultimatum Maskapai Turunkan Tarif Tiket Pesawat, Bagaimana Faktanya?

Pemerintah menilai operator maskapai penerbangan tidak mengindahkan permintaan untuk menurunkan harga tiket pesawat.

oleh Septian DenyIlyas Istianur PradityaMaulandy Rizky Bayu KencanaBawono YadikaTommy K. Rony diperbarui 29 Mar 2019, 00:00 WIB
Diterbitkan 29 Mar 2019, 00:00 WIB
Ilustrasi tiket pesawat
Ilustrasi tiket pesawat (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah gerah. Ultimatum pun dikeluarkan kepada operator maskapai penerbangan untuk segera menurunkan tarif tiket pesawat. Maskapai dinilai tak lagi memiliki alasan untuk tidak membuat tarif tiket pesawat lebih murah.

Pemerintah menegaskan jika harga avtur yang digadang-gadang berkontribusi paling besar terhadap komponen hitungan tarif tiket pesawat telah diturunkan PT Pertamina, operator penjaja avtur di Indonesia.

Tercatat, harga avtur atau bahan bakar pesawat Pertamina telah turun dari Rp 8.210 per liter menjadi Rp 7.960 per liter pada pertengahan Februari 2019. Harga avtur ditengarai menjadi komponen tertinggi dalam biaya operasional maskapai penerbangan, bahkan mencapai 40 persen.

Ultimatum harga tiket pesawat harus turun terungkap dari notulen Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, yang menggelar rapat bersama Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, pada Senin 25 Maret 2019. 

"Masalah tiket (pesawat) menimbulkan banyak persepsi di masyarakat dan dapat menimbulkan kegaduhan persepsi," kata Luhut.

Garuda Indonesia sebagai pemimpin maskapai penerbangan nasional pun telah diperintahkan Luhut untuk segera menurunkan harga tiket pesawat semua rute secepat mungkin. Bahkan tenggat waktu yang diberikan per awal April 2019.

"Garuda Indonesia sebagai leading nasional airlines harus segera menurunkan harga tiket dan itu merupakan perintah," tegas dia.

Berdasarkan penelusuran, pasca penurunan harga avtur, Garuda Indonesia sempat menurunkan harga tiket pesawat di seluruh rute penerbangan sebesar 20 persen sejak 14 Februari 2019.

Sedangkan Menhub Budi Karya merasa operator maskapai penerbangan tidak mengindahkan permintaan untuk menurunkan harga tiket pesawat, sehingga menimbulkan masalah yang tidak ‎pernah selesai.

Permintaan penurunan harga tiket pesawat dikatakan juga bergaung dari pemerintah daerah (pemda).

Harga tiket pesawat yang masih mahal‎, berdampak negatif pada industri pariwisata, serta sektor terkait didalamnya seperti perhotelan. "Khususnya Garuda Indonesia yang merupakan airlines plat merah yang merupakan leading nasional airlines," tutur dia.

Kampanye Pilpres Bikin Harga Naik

Tak hanya harga avtur, kampanye pemilihan presiden (pilpres) ternyata turut berperan dalam naiknya harga tiket pesawat. Maraknya safari politik di daerah membuat transportasi udara tetap laku meski harga mahal.

Ini juga yang menyebabkan harga tiket pesawat tetap tinggi sejak November lalu menjelang liburan akhir tahun. Pasalnya, naiknya harga tiket saat peak season tersambung dengan masa kampanye hingga April.

"Maskapai sekarang merasa bahwa demand-nya ada, karena mereka begini semenjak bulan November lalu, mereka cukup pede, mereka bilang Desember kan ramai katanya, lalu bulan Januari sampai Maret nanti ada kampanye. Banyak yang kampanye. Jadi pergerakan domestik pasti banyak menurut mereka," ujar Sekjen Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Pauline Suharno kepada Liputan6.com.

 

 

 

 

 

 

 

Infografis Harga Tiket Pesawat Bakal Turun?
Infografis Harga Tiket Pesawat Bakal Turun? (Liputan6.com/Triyasni)

Imbas ke Sektor Pariwisata

Destinasi Wisata Bali.
Destinasi Wisata Pulau Bali.

Pemerintah khawatir mahalnya harga tiket pesawat bisa berdampak ke pariwisata. Kondisi ini ternyata benar-benar terjadi.

Minat masyarakat berwisata ke destinasi lokal turun, meski mahalnya harga tiket mahal masih tak menghalangi turis (leisure traveler) untuk bepergian. Pauline menilai kondisi saat ini paling dirasakan para leisure traveler yang memiliki budget terbatas. 

"Sekarang karena tiket pesawat mahal, mereka enggak bisa ke Bandung atau ke Jogjakarta. Tapi kan ada pilihan-pilihan lain terutama sekarang karena dengan banyaknya penerbangan charter flight yang disubsidi oleh pemerintah China," ucap Pauline.

Para pelancong kini cenderung memilih wisata ke luar negeri yang dinilai lebih murah dari wisata lokal. Dia mencontohkan tujuan wisata ke Hainan, China yang hanya cukup dengan mengeluarkan Rp 3,5 juta - Rp 4 juta.

"Misalnya, tamu datang ke kita punya budget Rp 4 juta untuk waktu 5 hari, kan kalau misalnya ke Bali enggak dapat harga segitu, kan kita pasti menawarkan alternatif destinasi lain," jelas Pauline.

Kondisi sepinya pengunjung, kata Pauline menjadi keluhan pengusaha agen perjalanan di berbagai daerah seperti Bali, Belitung, dan Lombok.

Sebab, tak hanya leisure traveler yang menjadi ogah berpergian, para business traveler pun harus berpikir ulang bila ingin pergi ke luar kota untuk acara perusahaan.

"Karena yang biasa seperti company gathering, corporate gathering, atau famili saat weekend. Jadinya mereka mengurungkan niatnya untuk bepergian ke luar kota," ujar Pauline.

Pauline menyebut permintaan pemerintah untuk menurunkan harga tiket pesawat terbilang realistis. Namun, ia menyebut maskapai pasti menyadari hukum bisnis yaitu supply dan demand.

Oleh karenanya, para maskapai percaya meski harga pesawat tinggi, mereka tetap akan meraup untung. Sebab, ada permintaan domestik berkat musim pilpres walau harga tiket naik.

"Maskapai selama ini teriak rugi, rugi, rugi. Garuda juga kita lihat beberapa kali raportnya merah baru tahun lalu membukukan keuntungan. Namanya bisnis, siapa sih yang mau rugi?" ucap Pauline.

 

 

 

YLKI Minta Ubah Regulasi

Ilustrasi tiket pesawat
Ilustrasi tiket pesawat (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Desakan pemerintah kepada maskapai penerbangan seperti Garuda Indonesia untuk menurunkan harga tiket pesawat dinilai tak tepat sasaran. Ini dikatakan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.

Kata dia, pemerintah justru seharusnya mengubah regulasi tiket pesawat terlebih dahulu agar ada ketetapan yang jelas terkait persoalan tarif, terutama tarif batas atas.

"Itu ultimatum yang aneh dan salah sasaran. Kenapa di ultimatum karena tidak ada pelanggaran regulasi? Kalau memang pemerintah menghendaki tarif tiket pesawat turun, ya diubah regulasinya dong," ujar dia kepada Liputan6.com.

Dia menjelaskan, yang paling penting ialah regulasi atau peraturan yang memayungi maskapai agar tertib mematok harga tiket pesawat kepada masyarakat.

"Ultimatum itu menunjukkan pemerintah tak mampu mengatasi masalah yang sebenarnya. Kalau memang pemerintah ingin melindungi masyarakat agar tarif pesawat turun, maka ubah dulu regulasinya, khususnya terkait ketentuan batas atas," pungkasnya.

Sementara anggota Ombudsman bidang transportasi Alvin Lie mengatakan, perkara tarif ini sebenarnya telah diatur lama dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 14 Tahun 2016 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Batas Bawah Penumpang Pelayanan Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

Sampai hari ini, seluruh maskapai juga telah patuh terhadap Permenhub tersebut. "Jadi kalau dari segi pengaturan sebetulnya tidak ada pelanggaran," ujar dia kepada Liputan6.com.

Dia pun mempertanyakan langkah pemerintah yang mempermasalahkan penurunan tarif kepada maskapai nasional.

"Tidak ada masalah, kenapa sekarang dipermasalahkan? Kalau memang ternyata pemerintah punya data yang menunjukan biaya operasional itu turun, ya silakan dibuka bahwa biaya operasional turun signifikan. Maka itu tarif batas atas batas bawah direvisi turun," jelas dia.

Sebaliknya,dia menilai jika maskapai bisa menunjukan bukti bahwa sebetulnya biaya operasional naik, pemerintah juga seharusnya konsisten untuk berani merevisi permenhub dengan menaikkan batas atas dan bawah tiket pesawat.

Adapun penerapan tarif batas bawah pesawat dijelaskan karena beberapa faktor. Pertama, agar tidak terjadi predatory pricing atau saling bunuh harga antar pihak maskapai.

Kedua, maskapai tersebut bisa mendapat laba yang cukup agar dapat melaksanakan kewajiban tentang keselamatan penerbangan.

Namun demikian, ia mengutarakan, pemerintah juga seharusnya mempelajari laporan keuangan maskapai pada 2018. "3 besar di Indonesia itu Lion Group, Garuda Group dan Air Asia, itu tidak ada yang tidak rugi. Semuanya rugi," sebutnya.

"Kalau semuanya sudah rugi lalu disuruh menurunkan harga, kalau nanti itu berdampak terhadap keselamatan penerbangan bagaimana? Kan semuanya itu saling terkait," pungkas dia.

Pemerintah Siap Ubah Aturan

Penumpang Pesawat di Bandara Halim Perdanakusuma
Calon penumpang memasuki pintu keberangkatan di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. (Merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Tak sekadar mendesak maskapai. Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) ikut bergerak, dengan menggodok aturan baru terkait tarif tiket pesawat.

Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya tengah memfinalisasi aturan baru yang nantinya membuat harga tiket pesawat lebih terjangkau bagi masyarakat. Aturan ini dibuat dengan melibatkan para pelaku industri penerbangan.

"Hari ini aturannya sedang kita finalisasi. Besok Insya Allah kalau sudah selesai kita akan umumkan," kaya Budi Karya di Kuningan, Jakarta, Kamis (28/3/2019).

Dijelaskan Menhub, aturan baru ini tidak berkaitan dengan tarif batas atas dan tarif batas bawah yang sebelumnya sudah diterapkan. Melainkan tentang kelas pelayanan penerbangan. "Regulasinya berkaitan lebih banyak mengenai subclass," tegas dia.

Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan Hengki Angkasawan menyatakan aturan ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan tarif atau harga tiket pesawat yang banyak dikeluhkan masyarakat.

“Tentunya dalam membuat regulasi, pemerintah berada di tengah-tengah antara kepentingan masyarakat banyak dengan keberlangsungan industri penerbangan nasional,” ungkap Hengki.

Dia menambahkan, aturan yang tengah dalam tahap finalisasi ini disusun dengan melibatkan pihak masakapai dan setelah tercapai kesepahaman dengan pihak maskapai.

Ia pun mengaku segera mengumumkan aturan baru ini setelah proses penyusunan aturan tiket pesawat tersebut selesai dilakukan.

 

Respons Maskapai Penerbangan

20160412-pesawat terbang
Ilustrasi pesawat terbang lepas landas dari bandara.

Operator maskapai penerbangan akhirnya buka suara terkait permintaan pemerintah. Ketua Penerbangan Berjadwal Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) Bayu Susanto mengatakan, untuk urusan harga tiket pesawat sebenarnya telah diatur oleh Kemenhub melalui batas atas dan batas bawah.‎

"Sejak 2016 sampai sekarang tarif tiket pesawat batas atas dan bawah ya tidak berubah alias tetap saja. Selama ini tiket yang dijual semua maskapai dalam kisaran koridor aturan tersebut, yang dibagi ke dalam sejumlah subclass sehingga ada yang murah (diskon) dan mahal," jelas dia.

Selain itu, lanjut dia, untuk penentuan harga tiket pesawat oleh maskapai dilakukan berdasarkan banyaknya permintaan. Jika permintaan sedang rendah, maka tiket yang dijual pun akan lebih murah.

"Kalau demand naik, saat peak season atau weekend , ya makin banyak subclass harga kisaran atas yang dijual dan dibeli oleh penumpang. Sebaliknya saat demand rendah ya akan banyak tiket pesawat yang dijual di kisaran harga bawah. Ya begitu hukum ekonominya," kata dia.

Untuk segmen full service, kata Bayu, selama ini juga tidak pernah ada protes dari konsumennya. Sebab mayoritas konsumen merupakan korporasi atau instansi pemerintah.

‎"Untuk segmen pasar penerbangan full service sebagian besar adalah pelanggan korporasi, swasta, BUMN, instansi pemerintah. Dan setahu saya belum ada keluhan dari segmen korporasi tersebut," tandas dia.

Sementara Corporate Communications Strategic of Lion Air, Danang Mandala Prihantoro mengatakan, pihaknya akan melaksanakan kebijakan yang ditetapkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) selaku regulator.

‎"Kalau tentang tarif tiket, ‎Lion Air Group akan menjalankan atau melaksanakan aturan dan kebijakan dari regulator, dalam hal ini Kementerian Perhubungan untuk keuntungan bersama serta kepentingan semua pihak," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com.

Sedikit beda, operator Sriwijaya Air menyatakan keberatan terkait rencana pemerintah kembali menurunkan harga tiket pesawat. 

Vice President Corporate Secretary Sriwijaya Air, Retri Maya menyatakan, hingga saat ini kondisi keuangan Sriwijaya Air Group dinilai masih belum sehat. Hal tersebut diyakini karena tingginya biaya operasional dalam bisnis penerbangan saat ini.

"Kerja sama operasi atau management dengan Garuda Indonesia Group menjadi poin penting untuk melakukan negosiasi dan re-strukturisasi kewajiban Sriwijaya Air Group pada pihak BUMN. Namun demikian hal ini tentu juga masih membutuhkan bantuan dari yang lainnya termasuk para pengelola bandara," terang Maya, Kamis (28/3/2019).

"Apalagi pemerintah berencana akan menurunkan harga tiket kembali. Hal tersebut tentu akan semakin menyulitkan kami," ia menambahkan.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya