Liputan6.com, Jakarta - Indonesia bersama Malaysia dan Kolombia pada 8-9 April 2019 melakukan joint mission ke Brussel, Belgia sebagai upaya diplomasi kepada Uni Eropa (UE).
Diplomasi ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan industri dan perlindungan kepada para petani kelapa sawit atas diskriminasi terhadap komoditas kelapa sawit.
Kebijakan diskriminatif yang dilakukan oleh Komisi Eropa melalui penerbitan Delegated Regulation merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II) yang menempatkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi)/indirect land-use change (ILUC) (Delegated Regulation/DR Article 3 and Annex).
Advertisement
Baca Juga
Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, industri kelapa sawit di Indonesia mempekerjakan sebanyak 19,5 juta orang. Jika kampanye negatif oleh Eropa diterapkan,pekerja tersebut berpotensi terganggu atau kehilangan pekerjaan.
"Saudara saudara sekalian, kita menekankan betapa peranan kelapa sawit besar. Industri sawit itu mempekerjakan 19,5 juta orang yang kalau kelapa sawit dihambat, itu pasti terganggu," ujar Darmin di Kantornya, Jakarta, Jumat (12/4/2019).
Darmin mengatakan, selama ini industri kelapa sawit juga berperan dalam menekan kemiskinan di daerah. Oleh karena itu, pemerintah menganggap kampanye negatif terhadap sawit bukan suatu masalah yang sepele.
"Sawit cukup menolong menurunkan tingkat kemiskinan di daerah itu. Kita tunjukkan apa yang disiapkan itu bukan masalah sepele. Buat mereka (Eropa) mungkin sepele karena tidak menghasilkan kelapa sawit," paparnya.
Reporter: Anggun P.Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Tiga Hal yang Jadi Sorotan Pemerintah
Darmin merinci ada tiga hal yang menjadi sorotan pemerintah untuk melindungi sawit Indonesia.
Pertama, faktanya kelapa sawit memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi (8-10 kali) dan penggunaan lahan yang jauh lebih kecil dibandingkan vegetable oils lainnya.
"Kedua, dengan pertumbuhan permintaan vegetable oils yang terus bertumbuh, maka apabila phase-out terhadap kelapa sawit dilakukan, maka justru akan menyebabkan pembukaan lahan baru yang masif untuk produk vegetable oils lainnya," tutur dia.
Ketiga, penggunaan basis awal 2008 sebagai metodologi penghitungan dari ILUC dilakukan tanpa alasan yang kuat. Penetapan 2008-2015 sangat merugikan kelapa sawit dan menguntungkan vegetable oils lainnya.
Sementara kesimpulan yang ditarik dari rangkaian pertemuan di Brussel ini, antara lain pertama terdapat gap pemahaman yang besar terhadap produk kelapa sawit maupun kebijakan pengembangannya.
"Kedua masifnya kampanye negatif terhadap kelapa sawit menimbulkan persepsi yang salah," ujar dia.
Advertisement
Ikuti Pemerintah, Pengusaha Siap Gugat Kampanye Hitam Sawit Eropa
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengumpulkan pengusaha sawit di kantornya. Pertemuan tersebut membahas langkah yang akan ditempuh untuk melawan kampanye hitam kelapa sawit yang dilakukan oleh Uni Eropa (UE).
"Untuk memutuskan sesuatu kita berikan saja informasi mengenai perkembangan terakhir mengenai langkah-langkah Eropa," kata Darmin di kantornya, Senin, 25 Maret 2019.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor menyebutkan pengusaha nasional siap mendukung semua langkah yang akan diambil pemerintah dalam melawan UE.
"Mendukung pemerintah, apapun yang dilakukan pemerintah. Apapun yang dilakukan pemerintah pengusaha siap mendukung dan pengusaha ikut serta bersama pemerintah," kata dia.
Seperti diketahui, pemerintah akan menggugat UE melalui organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO). Namun pemerintah juga mendorong para pengusaha melakukan gugatan bisnis melalui pengadilan setempat.
Senada, Wakil Ketua Umum III Gapki, Togar Sitanggang mengatakan pengusaha akan terus menjalin komunikasi dan berdiskusi dengan pemerintah mengenai sikap atau tindakan yang akan ditempuh.
"Kita akan pertimbangkan semua saran pemerintah. Kita sebagai mitra pemerintah akan terus saling berbicara dan berdiskusi langkah-langkah yang kita ambil," jelas dia.
Namun demikian, dia menyatakan pengusaha perlu waktu untuk mempelajari lebih jauh sebelum melayangkan gugatan.
Selain itu, menurutnya, gugatan baru bisa dilakukan setelah UE mensahkan European Union's Delegated Regulation di tingkat parlemen mereka. Jika sudah disahkan, aturan tersebut dapat menjadi payung hukum bagi UE melakukan diskriminasi sawit.
"Begitu mereka sahkan, kita akan melakukan langkah-langkah litigasi terhadap mereka. Ada banyak hal yang kita diminta laksanakan untuk litigasi. Kita akan pelajari semuanya," ujar dia.