Serikat Pekerja Sayangkan Sikap 2 Komisaris Garuda

Dua komisaris Garuda Indonesia yaitu Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menyampaikan penolakan terhadap laporan keuangan tahun buku 2018.

oleh Arthur Gideon diperbarui 27 Apr 2019, 12:40 WIB
Diterbitkan 27 Apr 2019, 12:40 WIB
Penerbangan Perdana Garuda ke Dili
Pesawat Garuda Indonesia disiapkan di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Bali, Jumat (24/10/2014), untuk penerbangan perdananya dengan tujuan Dili, Timor Leste. (Antara Foto/Rosa Panggabean)

Liputan6.com, Jakarta - Serikat Karyawan Garuda Indonesia yang terdiri dari Serikat Karyawan Garuda Indonesia (SEKARGA) dan Asosiasi Pilot Garuda (APG) menyayangkan sikap yang diambil oleh dua orang komisaris Garuda Indonesia saat Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang berlangsung pada 24 April 2019.

Ketua Umum SEKARGA Ahmad Irfan menjelaskan, salah satu agenda RUPST Garuda Indonesia yang digelar pada Rabu lalu adalah pengesahan laporan keuangan untuk tahun buku 2018.

Dalam laporan keuangan tersebut menyatakan bahwa Garuda mencatatkan laba bersih USD 809 ribu atau setara Rp 11,49 miliar. Padahal pada sebelumnya, Garuda rugi sebesar USD 216,58 juta.

Atas laporan tersebut, dua komisaris yaitu Chairal Tanjung dan Dony Oskaria yang mewakili PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd menyampaikan penolakan dan tidak menandatangani laporan keuangan tersebut.

Meskipun begitu, RUPST tetap mensahkan laporan keuangan yang diajukan oleh para direksi Garuda Indonesia. Kedua komisaris tersebut pun angkat bicara lengenai kondisi RUPST di luar acara hingga berbicara kepada media.

Menurut Ahmad Irfan, langkah yang dilakukan oleh kedua komisaris tersebut tidak elok. "Para pemegang saham dan komisaris itu kan bisa berkomunikasi di dalam. Mereka punya alat untuk itu. Jangan ngomong di luar," kata dia kepada Liputan6.com, Sabtu (27/4/2019).

Akibat dari aksi atau pernyataan komisaris di luar RUPST Garuda Indonesia tersebut, maka kepercayaan masyarakat rusak. Harga saham Garuda Indonesia di pasaran pun akhirnya turun signifikan. Pernyataan tersebut telah berpengaruh terhadap kepercayaan pelanggan setia Garuda Indonesia.

"Akhirnya dampaknya ke kami-kami juga sebagai karyawan. Kami mencari nafkah di situ," kata Ahmad Irfan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Mogok Kerja

Pesawat Garuda Indonesia
Ilustrasi (Istimewa)

Atas pertimbangan tersebut, seluruh karyawan Garuda Indonesia pun memutuskan untuk melakukan aksi mogok termasuk didalamnya penerbang dan pramugari.

Mengenai kepastian kapan aksi tersebut akan dilakukan, Ahmad Irfan masih belum memutuskan.

"Ini kami imbau dulu ke pemegang saham dan komisaris. Jika tak bisa kami baru bergerak karena untuk menentukan waktu itu butuh banyak pertimbangan," pungkas dia.

Dua Komisaris Tolak Laporan Keuangan Garuda

Pesawat Garuda Indonesia
(Liputan6.com/Fahrizal Lubis)

Sebelumnya, laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) pada 2018 sedang menjadi sorotan. Dua komisaris PT Garuda Indonesia Tbk tidak setuju dengan pencatatan laporan keuangan Garuda Indonesia pada 2018.

Pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) 24 April 2019, dua komisaris yaitu Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menyampaikan keberatan dalam laporan di dokumen soal pencatatan laporan keuangan Garuda Indonesia pada 2018. Komisaris ini mewakili PT Trans Airways dan Finegold Resources Ltd.

Seperti diketahui, pemegang saham PT Garuda Indonesia Tbk antara lain PT Trans Airways sebesar 25,61 persen, pemerintah Indonesia sebesar 60,53 persen dan masyarakat dengan kepemilikan di bawah lima persen sebesar 13,84 persen. 

Dalam dokumen yang diterima media disebutkan kalau dua komisaris tersebut meminta masukan dan tanggapan kepada Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) mengenai perlakuan akuntansi transaksi kerja sama Citilink dan Mahata.

Hal ini terkait perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia pada 31 Oktober 2018.

Dari kerja sama itu, perseroan akan mendapatkan pendapatan dari Mahata Aero Teknologi sebesar USD 239.940.000. Di antaranya sebesar USD 28.000.000 merupakan bagian hasil perseroan yang didapat dari PT Sriwijaya Air. Namun, hal itu dinilai tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018.

Dalam dokumen itu disebutkan pertimbangan hal itu tidak diakui dalam tahun buku 2018 dengan melihat pernyataan standar akuntansi keuangan nomor 23 (PSAK 23). Yaitu tidak dapat diakuinya pendapatan tersebut karena hal ini bertentangan dengan PSAK 23 paragraf 28 dan 29 yang berbunyi sebagai berikut:

Paragraf 28, pendapatan yang timbul dari penggunaan aset entitas oleh pihak lai yang menghasilkan bunga, royalti dan dividen diakui dengan dasar yang dijelaskan di paragraph 28 jika (a) kemungkinan besar manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut akan mengalir ke entitas. (b) jumlah pendapatan dapat diukur secara andal.

Paragraf 29, royalti diakui dengan dasar akrual sesuai dengan subtansi perjanjian yang relevan.

Dalam lampiran PSAK 23 paragraf 20 lebih dijelaskan lagi dalam ilustrasi makna dari PSAK 23 paragraf 28 tersebut yaitu bahwa imbalan lisensi atau royalti akan diterima atau tidak diterima bergantung pada kejadian suatu peristiwa masa depan.

Dalam hal ini pendapatan hanya diakui jika terdapat kemungkinan besar bahwa imbalan atau royalti akan diterima. Keandalan dapat diterimanya pendapatan harus diukur dengan pendapatan tetap atau jaminan yang tidak dikembalikan dalam suatu kontrak yang tidak dapat dibatalkan.

Perjanjian Mahata ditandatangani 31 Oktober 2018, tapi hingga tahun buku 2018 berakhir, bahkan hingga surat ini dibuat, tidak ada satu pembayaran pun yang telah dilakukan oleh pihak Mahata meski pun telah terpasang satu unit alat di Citilink.

Dalam perjanjian Mahata tidak tercantum term of payment yang jelas bahkan pada saat ini masih dinegosiasikan cara pembayarannya. Sampai saat ini tidak ada jaminan pembayaran yang tidak dapat ditarik kembali seperti bank garansi atau instrumen keuangan yang setara dari pihak Mahata kepada perseroan. Padahal bank garansi atau instrumen keuangan yang setara merupakan instrumen yang menunjukkan kapasitas Mahata sebagai perusahaan yang bankable.

Komisaris menilai kalau pengakuan pendapatan dari perjanjian Mahata oleh perseroan sebesar USD 239.940.000 merupakan jumlah signifikan. Apabila tanpa pengakuan pendapatan ini perseroan akan alami kerugian sebesar USD 244.958.308.

"Adapun dengan mengakui pendapatan dari perjanjian Mahata maka perseroan membukukan laba sebesar USD 5.018.308," tulis Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, Komisaris Perseroan

Dampak dari dari pengakuan pendapatan tersebut, laporan keuangan perseroan tahun buku 2018 menimbulkan “misleading” atau menyesatkan yang material dampaknya dari sebelumnya membukukan kerugian yang signifikan menjadi laba, terlebih perseroan adalah perusahaan publik atau terbuka.

Adanya potensi yang sangat besar untuk penyajian kembali laporan keuangan perseroan tahun buku 2018 yang dapat merusak kredibilitas perseroan.

Selain itu, pengakuan pendapatan ini menimbulkan kewajiban perpajakan perseroan baik PPh maupun PPN yang seharusnya belum waktunya. Hal ini dapat menimbulkan cashflow bagi perseroan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya