Liputan6.com, Jakarta Pada April 2019 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD 2,50 miliar, atau yang terparah sepanjang sejarah.
Defisit neraca perdagangan tersebut melampaui Juli 2013 yang tercatat sebesar USD 2,33 miliar. Itu dipicu oleh faktor defisit sektor migas sebesar USD 1,49 miliar, dan non-migas senilai 1,01 miliar.
Menanggulangi hal tersebut, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira coba memberikan beberapa solusi. Salah satunya, dengan memperluas pasar ekspor ke berbagai negara seperti yang ada di kawasan Afrika Utara dan Eropa Timur.
Advertisement
Baca Juga
"Perluasan pasar ekspor mutlak diperlukan untuk diversifikasi risiko perang dagang. Market seperti Afrika Utara dan Eropa Timur bisa didorong untuk serap kelebihan produksi ekspor," ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis (16/5/2019).
Di samping itu, ia melanjutkan, pemerintah juga perlu menjaga gerak impor yang masuk ke Tanah Air. Hal itu dilakukan dengan cara mengendalikan impor barang konsumsi melalui pengawasan ketat di pintu-pintu masuk barang impor utama, termasuk pengawasan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI).
Menyikapi hal tersebut, dia pun mendorong produk lokal agar mau bersaing dengan produk impor, khususnya yang berasal dari China.
"Itu bisa dengan peningkatan daya saing produk domestik untuk bersaing dengan produk impor asal China," imbuhnya.
Bhima juga menyoroti pengaturan porsi barang impor di sektor e-commerce. Dia menilai, mayoritas barang yang dijual di pasar e-commerce dalam negeri merupakan produk impor.
"Selama ini 97 persen barang yang ada di e-commerce adalah produk impor. Porsinya harus dirubah dengan regulasi 70 persen wajib produk dalam negeri," ungkap dia.
Indef: Perang Dagang Jadi Penyebab Defisit Terparah Sepanjang Sejarah
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 mengalami defisit sebesar USD 2,50 miliar.
Itu dipicu oleh faktor defisit sektor migas sebesar USD 1,49 miliar, dan non-migas senilai 1,01 miliar.
Defisit neraca perdagangan tersebut merupakan yang terparah sepanjang sejarah, melampaui perolehan pada Juli 2013 lalu yang sebesar USD 2,33 miliar.
Baca Juga
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai, penyebab melebarnya defisit perdagangan pada April utamanya disebabkan oleh faktor perang dagang (trade war) antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Perang dagang yang membuat pertumbuhan ekonomi global melambat dikatakannya turut berpengaruh pada permintaan bahan baku dan barang stengah jadi dari Indonesia.
"Dalam rantai pasok global posisi Indonesia juga terimbas oleh perang dagang AS-China. Ekspor ke AS dan China bulan April masing-masing turun 5 persen dan 10 persen secara tahunan," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis (16/5/2019).
Dia menambahkan, perang dagang juga membuat harga komoditas unggulan masih rendah seperti harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO), karet dan batubara, sehingga berdampak signifikan terhadap turunnya kinerja ekspor.
Di sisi lain, ia melanjutkan, negara-negara yang terlibat dalam perang dagang turut mengalihkan impor produksinya ke Indonesia.
Hal itu terlihat dari impor barang konsumsi sepanjang April yang meningkat 24 persen dibanding bulan sebelumnya.
"Impor spesifik asal China tumbuh 22 persen secara tahunan. Kita makin bergantung pada barang dari impor untuk memenuhi kebutuhan khususnya jelang Ramadan dan Lebaran," ungkapnya.
"Pengaruhnya kinerja net ekspor pada kuartal II diperkirakan masih tumbuh negatif. Ekonomi sepanjang tahun akan terimbas pelemahan net ekspor. Outlook ekonomi 2019 hanya tumbuh 5 persen," dia menambahkan.
Bhima juga menyatakan, dampak perang dagang ke stabilitas jangka pendek tercermin dari pelemahan kurs rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Investor mengantisipasi memburuknya perang dagang dengan memindahkan aset berisiko tinggi ke aset rendah risiko.
"Ini terlihat dari kenaikan yen Jepang terhadap dolar sebesar 2,26 persen, dan kenaikan dolar index 0,38 persen sebulan terakhir (RTI). Rupiah diperkirakan menyentuh level psikologis baru di Rp 14.700. Sementara IHSG di 5.800-5.900 hingga akhir kuartal II 2019," pungkasnya.
Advertisement
Neraca Dagang April Defisit USD 2,5 Miliar
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 sebesar USD 2,50 miliar. Defisit dipicu defisit sektor migas dan non migas masing masing sebesar USD 1,49 miliar dan USD 1,01 miliar.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, defisit pada April tersebut merupakan terbesar sejak Juli 2013. Defisit yang hampir sama pernah terjadi pada Juli 2013 sebesar USD 2,33 miliar.
"Menurut data kami, yang sekarang ada, itu terbesar di Juli 2013 sekitar USD 2,33 miliar. Lalu April ini, sebesar USD 2,50 miliar," ujar Suhariyanto di Kantornya, Jakarta, Rabu, 15 Mei 2019.
Adapun pada April ekspor Indonesia naik sebesar 10,8 persen menjadi USD 12,6 miliar sedangkan impor naik lebih tajam sekitar 12,25 persen menjadi USD 15,1 miliar jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Penyebab defisit neraca perdagangan tersebut utamanya, disebabkan oleh defisit migas sebesar 2,76 miliar. Sedangkan non migas mengalami surplus sebesar USD 0,2 miliar.