Hingga Juni 2019, Pemerintah Tarik Utang Rp 180 Triliun

Realisasi pembiayaan utang pemerintah hingga akhir Juni 2019 sebesar Rp 180 triliun atau 50,2 persen target APBN.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Jul 2019, 18:20 WIB
Diterbitkan 16 Jul 2019, 18:20 WIB
IHSG Berakhir Bertahan di Zona Hijau
Petugas menata tumpukan uang kertas di ruang penyimpanan uang "cash center" BNI, Jakarta, Kamis (6/7). Tren negatif mata uang Garuda berbanding terbalik dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mulai bangkit ke zona hijau (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan mencatat realisasi pembiayaan utang pemerintah hingga akhir Juni 2019 sebesar Rp 180 triliun atau 50,2 persen target Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Pembiayaan tersebut terdiri dari realisasi Surat Berharga Negara (Neto) sebesar Rp 195,77 triliun atau 50,3 persen target APBN dan realisasi Pinjaman (Neto) sebesar negatif Rp 15,27 triliun atau negatif 80,5 persen dari target APBN.

“Realiasi Pinjaman yang mencapai angka negatif menunjukkan bahwa realisasi pembayaran cicilan pokok pinjaman lebih besar dari pada penarikan pinjaman baik dalam negeri maupun luar negeri,” demikian dikutip dari APBN Kita edisi Juli 2019, Jakarta, Selasa (16/7).

Hingga akhir Juni 2019 Pemerintah telah membayarkan cicilan pokok Pinjaman Dalam Negeri sebesar Rp 0,58 triliun atau 39,3 persen dari target APBN, sedangkan cicilan pokok Pinjaman Luar Negeri telah dibayarkan sebesar Rp 43,52 triliun atau 58,1 persen target APBN.

Penarikan Pinjaman Dalam Negeri sebesar Rp 0,19 triliun atau 9,7 persen target APBN dan penarikan Pinjaman Luar Negeri mencapai Rp 28,64 triliun atau 47,5 persen target APBN.

Adapun penarikan utang, salah satunya dilakukan untuk membangun beberapa infrastruktur baru. Beberapa contoh yang pembangunan infrastruktur menggunakan pembiayaan utang seperti pembangunan jalur kereta api menggunakan fasilitas pembiayaan Surat Berharga Syariah Negara/ Sukuk Negara (SBSN).

Kemudian, pembangunan 14 proyek pembangunan infrastruktur perkeretaapian di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi yang dimulai dari tahun 2018 hingga 2019 dengan nilai mencapai kurang lebih Rp 7,1 triliun berasal dari pembiayaan SBSN.

Infrastruktur perkeretaapian tersebut meliputi antara lain jalur kereta Cirebon-Kroya segmen 3 hingga Jombang, Maja Rangkasbitung, Kereta Api Layang Medan, Rantauprapat-Kotapinang, Binjai-Besitang-Langsa, MakassarParepare, dan Bandar Tinggi-Kuala Tanjung. Dengan pembangunan jalur kereta api, diharapkan ekonomi masyarakat di daerah akan bergeliat serta semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

DPR Peringatkan Pemerintah soal Pengelolaan Utang

Sri Mulyani Tanggapi Pandangan DPR soal RUU APBN 2018
Menkeu Sri Mulyani bersalaman dengan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto saat menyampaikan tanggapan pemerintah atas pandangan DPR terhadap RUU Tentang Pertanggungjawaban Atas Pelaksanaan APBN (P2APBN) Tahun Anggaran 2018 di Gedung Nusantara II, Jakarta, Selasa (16/7/2019). (Liputan6.com/JohanTallo)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menghadiri rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Rapat ini mengenai Pembahasan Pembicaraan Pendahuluan RAPBN dan RKP 2020, dengan agenda Penyampaian dan Pengesahan Laporan Panja-panja.

Dalam rapat tersebut, Anggota Komisi III DPR John Kennedy Azis meminta pemerintah hati-hati dalam melakukan penambahan utang untuk pembangunan negara di 2020. Pihaknya juga meminta setiap penambahan utang harus melalui persetujuan DPR.

"Catatan, jika pemerintah memutuskan menambah utang untuk mempercepat pembangunan negara agar pemerintah melakukannya dengan prinsip kehati-hatian dan tetap menjaga rasio utang sesuai dengan undang-undang dan persetujuan DPR," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Senin (8/7/2019).

John melanjutkan, arah dan strategi kebijakan pembiayaan utang ke depan harus mengedepankan aspek kehati-hatian melalui pengendalian rasio utang dalam batas aman berkisar 29,4 sampai 30,1 persen PDB untuk mendukung keseimbangan fiskal .

"Kedua, pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif. Kemudian, terciptanya efisiensi biaya utang. Selain itu, pemerintah juga harus menjaga keseimbangan makro dengan menjaga komposisi utang domestik dan valas dalam batas terkendali serta pendalaman pasar keuangan," jelasnya.

Sementara itu untuk pembiayaan nonutang, DPR meminta pemerintah harus mendorong efektivitas pembiayaan investasi pada kisaran 0,3 persen hingga 0,5 persen dari PDB. "Kedua meningkatkan pembiayaan kreatif dan inovatif untuk akselerasi pembangunan infrastruktur kewajiban penjaminan, peningkatan akses pembiayaan UMKM, UMI," tandasnya.

Peringkat Utang RI Naik Bikin Beban Bunga Turun

terbebas utang
Ilustrasi./Copyright unsplash.com/rawpixel

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah berupaya menekan beban bunga utang pada tahun ini. Hingga saat ini, beban bunga utang yang harus dibayarkan pemerintah dinilai kecil,yang ditunjukkan dengan besaran imbal hasil obligasi 10 tahun yang saat ini sebesar 7,42 persen.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani menjelaskan, turunnya beban bunga utang yang harus dibayarkan pemerintah tersebut imbas langkah efisiensi. Di sisi lain juga karena peningkatan rating surat utang pemerintah yang sudah mencapai level investment grade dari Standard and Poors (S&P).

"Tetapi paling tidak kita bisa menunjukkan bahwa kenaikan daripada beban bunga ini malah kita upayakan semakin menurun di 2019 ini kalau kita lihat sudah hanya tinggal 7 persen. Ini menjadi salah satu hasil dari pada langkah pemerintah untuk efisiensi daripada beban bunga," kata Askolani di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (27/6/2019).

Askolani menyebut dengan meningkatnya standar surat utang pemerintah secara otomatis akan membuat investor menjadi yakin dengan pengelolaan utang di Indonesia. Jika pengelolaan utang kian membaik, ke depan di harapkan beban bunga utang yang harus dibayarkan pemerintah juga terus terjaga rendah.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan hingga Mei 2019 pemerintah telah merealisasikan pembayaran bunga utang sebesar 47,14 persen terhadap APBN atau sebesar Rp 127,07 triliun dari target Rp 275,89 triliun.

Untuk menurunkan beban bunga tersebut, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan memperluas pasar surat utang pemerintah. "Jadi pedalaman market menjadi sangat penting supaya surat utang ini lebih mudah diperjualbelikan seperti misalnya pasar modal dan pasar keuangan yang lainnya," pungkas Askolani.

DPR Buka Pintu Bagi Pemerintah Tambah Defisit Anggaran

Ketua DPR RI Pimpin Rapat Paripurna DPR Jelang Reses
Suasana usai sidang paripurna di Komplek Parlemen, Jakarta. Jumat (24/04/2015). Sidang Paripurna yang beragendakan Laporan Komisi III DPR RI terhadap Hasil Pembahasan atas RUU. (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI membuka pintu bagi pemerintah apabila ingin menambah besaran defisit anggaran. Sesuai peraturan perundang-undangan, batas maksimal defisit anggaran dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahunan yakni 3 persen.

Wakil Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah mengatakan, pemerintah diperbolehkan jika ingin memaksimalkan defisit anggaran batas maksimal tersebut. Asalkan defisit anggaran tersebut dipergunakan untuk keperluan belanja yang produktif.

"Defisit anggaran Malaysia 7 persen, Filipina 6 persen, Vietnam 5 persen. Kita dikasih maksimal 3 persen tapi yang diajukan hanya 1,5 persen. Kita ini negara yang sombong," kata Said dalam dalam rapat panja di ruang sidang DPR RI, Jakarta, Selasa (25/6/2019).

Secara langsung Said menyebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tak perlu khawatit disebut sebagai pencetak utang. Sebab, utang yang digunakan selama ini pun untuk kegiatan yang produktif "Tidak perlu takut, selagi utang itu untuk kegiatan produktif," imbuhnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya