Uni Eropa Bantah Lakukan Kampanye Hitam Sawit RI

Uni Eropa membantah telah melakukan aksi boikot terhadap minyak sawit Indonesia

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Sep 2019, 17:30 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2019, 17:30 WIB
20160308-Ilustrasi-Kelapa-Sawit-iStockphoto
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Wakil Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Charles Michel Geurts membantah telah melakukan aksi boikot terhadap minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) produksi asal Indonesia. Sebab, kampanye bebas minyak kelapa sawit dilakukan pihaknya adalah bentuk perhatian masyarakat terhadap lingkungan.

"Tidak ada sama sekali pelarangan impor minyak kelapa sawit dalam hubungan perdagangan antara Indonesia dengan Uni Eropa," ujar Charles saat ditemui di Jakarta, Kamis (4/9).

Menurut Charles justru terjadi pandangan yang berbeda antara produsen minyak kelapa sawit dan pemerintah Indonesia. Di mana keduanya menilai ada pembatasan impor minyak kelapa sawit di salah satu pangsa terbesar Indonesia tersebut.

Pemerintah Uni Eropa pun mengklaim bahwa tidak ada hambatan atau peraturan-praturan yang bersifat diskriminatif terhadap minyak kelapa sawit asal Indonesia. Tarif yang diberlakukan oleh otoritas terhadap minyak kelapa sawit Indonesia pun sebesar 0 persen hingga 10,9 persen cenderung rendah jika dibandingkan dengan negara eksportir lain.

Pihaknya pun mendukung upaya Indonesia untuk mencapai 100 persen minyak kelapa sawit berkelanjutan pada tahun 2020. Hanya saja dia menyerukan standar yang jelas dan ditegakkan dengan baik untuk melindungi masyarakat lokal, ekosistem dan cadangan karbon, sejalan dengan Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

"Kami adalah pemasok utama dari minyak kelapa sawit dan kami membutuhkan itu. Uni Eropa telah dan akan terus menjadi pangsa ekspor minyak kelapa sawit terbesar kedua Indonesia setelah India," ujar dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Impor Uni Eropa dari Indonesia Merosot

20160304-Kelapa Sawit-istock
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Nilai impor minyak kelapa sawit dari Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2018 merosot 22 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal tersebut disebabkan, sebagian besar minyak kelapa sawit yang sebelumnya digunakan untuk produksi dialihkan menjadi biodiesel.

Sehingga jika dibandingkan antara minyak kelapa sawit dan biodiesel, ekspor Indonesia ke Uni Eropa hanya turun 2 persen. Sementara dari segi volume, pada lima bulan pertama tahun ini, volume impor minyak kelapa sawit asal Indonesia di kawasan Uni Eropa tumbuh 0,7 persen.

"Minyak kelapa sawit di industri Eropa digunakan baik untuk olahan makanan maupun kosmetik, selain itu juga diproduksi kembali dengan biodiesel. Secara kasar pembagiannya 50:50. Bahkan, hampir 50 persen perusahaan swasta yang memroduksi biodiesel di Uni Eropa menggunakan minyak kelapa sawit asal Indonesia," jelas dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Eropa Sebut Kualitas Minyak Sawit Indonesia Terbaik di Dunia

Sawit
Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh 2019 menyebut terdapat 61 perusahaan kelapa sawit di provinsi itu. Sebanyak 39 diantaranya masih beroperasi, delapan dalam tahap pembangunan, dan 14 lainnya dinyatakan kolaps. (Liputan6.com/ Rino Abonita)

Uni Eropa mengakui kelapa sawit asal Indonesia memiliki kualitas dan kuantitas sebagai penghasil minyak nabati terbaik, dibandingkan tanaman-tanaman lain seperti rapeseed, bunga matahari dan kedelai.

Pejabat Delegasi Uni Eropa, Michael Bucki mengatakan sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia mampu memproduksi minyak kelapa sawit dengan jumlah besar.

Di mana kelapa sawit mampu memproduksi 4 ton minyak nabati setiap hektare (Ha). Sementara, produktivitas bunga matahari hanya 0,6 ton per Ha dan kedelai hanya 0,4 ton per Ha.

"Kami tidak menyangkal kehebatan kelapa sawit. Kelapa sawit adalah tanaman yang luar biasa, bisa tumbuh dengan sangat cepat, memproduksi lebih banyak minyak dan membutuhkan lahan yang lebih sedikit. Itu semua tidak perlu dipertanyakan lagi," kata Michael Bucki di Jakarta, Kamis (5/9/2019).

Kendati begitu, Menurut Michael Bucki jika dilihat dari segi pelepasan karbon ke udara, kelapa sawit menjadi terburuk. Sebab berdasarkan data pihaknya, sebanyak 45 persen dari ekspansi kelapa sawit terjadi di daerah dengan cadangan karbon tinggi.

Sedangkan, tanaman sumber minyak nabati lain hanya melepas karbon paling besar 10 persen. "Kami melihat ini bukan secara kualitas tanaman, tetapi secara pendekatan kepada lingkungan," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya