Liputan6.com, Jakarta - Perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China dipandang bisa menjadi lebih 'dingin' ketimbang perang dingin. Bert Hofman, Direktur East Asian Institute dari National University of Singapore, menjelaskan itu disebabkan oleh dominasi China di perdagangan global.
Kondisi itu berbeda dari hubungan AS dan Soviet pada era perang dingin. Kala itu, kedua negara tak punya hubungan dagang yang signifikan.
Advertisement
Baca Juga
"Soviet dan AS hampir tak punya hubungan dagang. Kurang dari dua persen dari total perdagangan. Dengan China perdagangannya sampai 15 persen," ujar Hofman pada Selasa (17/9/2019) di Jakarta pada acara CSIS Global Dialogue.
Hofman juga menyebut interaksi dagang antara Blok Barat dan Blok Timur sangat minim. Hubungan dagang keduanya hanya terbatas minyak dan grain.
Kondisi China jauh berbeda dari Blok Timur. China memimpin share di sektor manufaktur dunia, yakni melebihi 25 persen. Dalam total ekspor, China berada di kisaran 10 persen, lebih tinggi dari Jerman, meski masih lebih rendah dari AS.
"Ekonomi terbesar kedua ini akan segera menjadi yang terbesar di dunia," jelas Hofman. Alhasil, sulit untuk mencari alternatif selain China dalam perdagangan.
Selain perang dagang, Hofman juga mengingatkan bahwa perang teknologi dengan China bisa amat rumit. Negara Tirai Bambu itu sudah menjadi tech dan R&D powerhouse yang agresif berinvestasi di R&D, yakni 2,5 persen dari GDP mereka.
Hofman pun menyorot bagaimana perang dagang mengakibatkan ketidakpastian geopolitik dalam investasi. Kini perusahaan mulai hijrah dari China ke ke Vietnam demi menghindari tarif perang dagang, tetapi bisa saja Trump turut menjadikan Vietnam sebagai target.
"Confidence menjadi turun karena tak ada yang tahu apa yang akan terjadi, tak ada yang tahu bagaimana bunyi twit (dari Donald Trump) berikutnya," ucap Hofman.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Nasib Perang Dagang Ada di Tangan Trump
Penasihat pemerintah China, Wang Huiyao, menyatakan bahwa perang dagang yang tidak berujung dapat segera berakhir jika Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump memberi keputusan.
China dikatakan telah melakukan berbagai usaha untuk menekan dampak perang dagang, bahkan menghentikannya. termasuk mengeluarkan undang-undang investasi asing baru pada Maret lalu.Â
"Undang-undang yang baru melarang transfer teknologi secara paksa dari bisnis yang berinvestasi di China untuk meningkatkan perlindungan kekayaan intelektual," ujar Wang dikutip dari CNBC, Senin (09/09/2019).
Dengan begitu, kedudukan perusahaan luar negeri akan sama dengan kedudukan perusahaan domestik. Meski terkesan tidak realistis, namun China benar-benar melakukan itu, demi mengurangi dampak negatif perang dagang untuk para pelaku bisnis. Â
Advertisement
Respons Trump Terhadap UU Investasi Asing Baru
Tapi, para analis menilai usaha China ini masih belum cukup untuk membuat AS mereda. Malah, Trump sempat marah sebelum UU ini disahkan oleh China.
"Tindakan itu justru melanggar kesepakatan dari negosiasi sebelumnya," kata Trump. Akhirnya, AS malah menaikkan tarif impor barang-barang China.
Geram, China membalas perlakuan AS dengan memberlakukan tarif impor tambahan juga. Melihat situasi ini, para analis pesimis kesepakatan perang dagang bakal dicapai sebelum pemilihan presiden AS di 2020 mendatang.
Namun tetap saja, China masih sangat membuka peluang untuk mengakhiri perang dagang dengan diskusi bersama AS.
"China membuka ekonominya bukan untuk AS, namun untuk China sendiri," ujar Wang.Â