Asia Hadapi Krisis Pangan dalam 10 Tahun ke Depan

Dalam sepuluh tahun ke depan, Asia membutuhkan USD 800 miliar atau Rp 11.200 triliun untuk memenuhi kebutuhan pangan.

oleh Tira Santia diperbarui 29 Nov 2019, 18:00 WIB
Diterbitkan 29 Nov 2019, 18:00 WIB
Wujudkan Ketahanan Pangan, Kementan Terus Kawal Penyaluran Pupuk Bersubsidi
Pemberian pupuk bersubsidi ini haruslah memenuhi enam prinsip utama yang sudah dicanangkan atau disebut 6T.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam sepuluh tahun ke depan, Asia menghadapi kemungkinan terjadinya krisis pangan. Untuk menghindari ini, Asia membutuhkan investasi hingga USD 800 miliar atau Rp 11.000 (USD 1= Rp 14.100) untuk pangan. Ini mengacu pada laporan dari PwC, Rabobank, dan perusahaan investasi Temasek.

Asia Food Challenge Report, seperti mengutip laman CNBC, juga mengungkapkan bahwa pengeluaran makanan akan naik lebih dari dua kali lipat. Dari USD 4 triliun pada 2019, menjadi lebih dari USD 8 triliun pada tahun 2030.

"Asia tidak dapat memberi makan dirinya sendiri, dan perlu menginvestasikan USD 800 miliar lagi, dalam 10 tahun ke depan untuk menghasilkan lebih banyak makanan, dan memenuhi kebutuhan kawasan," menurut sebuah laporan.

Karena populasi di Asia mengalami pertumbuhan, sehingga menuntut pangan yang lebih aman, sehat, dan berkelanjutan.

Sementara itu, populasi Asia dapat tumbuh sekitar 250 juta pada sepuluh tahun mendatang, hal itu termasuk dengan Indonesia.

“Jika investasi ini tidak terwujud, kami percaya industri akan berjuang untuk memenuhi permintaan, menghasilkan hasil makanan yang lebih buruk untuk populasi Asia,” menurut penulis laporan yang disusun oleh PwC, Rabobank, dan perusahaan investasi Singapura Temasek .

Jika tidak segera diantisipasi terkait pangan, maka akan berada dalam posisi yang buruk dalam 10 tahun mendatang. Dengan investasi USD 800 miliar, dapat digunakan untuk industri pangan pertanian Asia, serta untuk bidang teknologi dan inovasi, yang bisa menjadi jalan keluar mengatasi permasalahan pangan.

"Peluang terbesar untuk sektor pertanian pangan di Asia mungkin di China," kata Anuj Maheshwari dari Temasek.

China

Liputan 6 default 4
Ilustraasi foto Liputan 6

Alasan investasi berpeluang masuk ke China, karena perusahaan pertanian di negara tersebut sudah menggunakan teknologi canggih, dalam mengelola lahan pertanian.

Misalnya, DJI yang berbasis di Shenzhen memproduksi drone pertanian, yang menyemprotkan pestisida dan pupuk, yang mampu mengantisipasi wabah penyakit.

Menurut perusahaan analisis drone Skylogic Research, perusahaan teknologi China itu, menyumbang lebih dari 70 persen pangsa pasar drone sipil dunia pada tahun 2018.

Itulah sebabnya kota-kota di China seperti Shenzhen, Beijing, dan Shanghai bisa menjadi pusat inovasi agri-pangan yang potensial.

Tempat-tempat ini memiliki pengalaman pertanian pangan, lingkungan peraturan yang kuat untuk startup, dan bakat kompetitif, dan secara bersama-sama, mereka siap untuk mendorong inovasi dan investasi dalam industri. Selain China, Singapura dan kota India di Bangalore, juga menjadi pusat inovasi agri-pangan.

Alasan Asia Hadapi Masalah Pangan

Menurut laporan yang dirilis (20/11), Asia tidak dapat memberi makan dirinya sendiri, melainkan mengandalkan impor dari Amerika, Eropa, dan Afrika, dalam jangka waktu yang panjang. Tentu saja, hal itu sesuai dengan hasil penelitian dari Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB tahun 2018.

"Secara umum, negara-negara di Amerika Latin, Afrika Timur dan Asia Selatan adalah pengekspor makanan bersih, sementara sebagian besar negara Asia dan Afrika lainnya tetap menjadi pengimpor pangan netto," kata Statistik dan Tren Utama dalam Perdagangan Internasional.

“Makanan, ini adalah topik sensitif, dan banyak perang dan banyak pemberontakan internal telah memperebutkan makanan dalam sejarah yang terletak. Dan itu mungkin akan terus terjadi, "kata Richard Skinner dari PwC.

Selain bergantung, Asia juga dipengaruhi oleh iklim dan pertumbuhan populasi, yang menyebabkan timbulnya masalah pasokan pangan, dan perubahan harga.

Cuaca ekstrem dapat mengurangi hasil panen dan mengubah struktur penanaman. Sehingga jumlah lahan subur untuk setiap orang di Asia diperkirakan akan menurun 5% pada tahun 2030.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya