Ikut Reuni Akbar 212, PNS Terancam Kena Sanksi

Keputusan pemberian sanksi menjadi hak dari Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di masing-masing instansi.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 30 Nov 2019, 14:00 WIB
Diterbitkan 30 Nov 2019, 14:00 WIB
20160711-PNS-DKI-Jakarta-YR
Ilustrasi Foto PNS. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta m Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) mengemukakan bahwa Pegawai Negeri Sipil atau PNS berpotensi mendapatkan sanksi jika ikut Reuni Akbar 212 yang rencana digelar di kawasan Monas, Jakarta, Senin (2/12/2019) mendatang.

Sekretaris Deputi Sumber Daya Manusia Aparatur (SDMA) Kementerian PANRB Mudzakir menyatakan, keputusan pemberian sanksi menjadi hak dari Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di masing-masing instansi.

"Kan 212 itu di hari kerja, hari Senin. Kalau misal PNS kemudian tidak masuk (kerja) untuk itu, itu kan PPK-nya berhak menentukan apakah itu pelanggaran disiplin atau tidak," ujar dia saat sesi Media Gathering Kementerian PANRB di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, dikutip Sabtu (30/11/2019).

Menurutnya, bentuk pemberian sanksi terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) yang indisipliner telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin PNS.

Namun, Mudzakir percaya bahwa tiap PNS dapat bertanggung jawab terhadap tugasnya sebagai abdi negara.

"Kami yakin bahwa ASN mempunyai sikap bijak dengan pemahaman mereka mengenai disiplin sebagai PNS, dan nilai-nilai dasar yang ditegakkan tentu ASN melakukan atau memilih bersikap yang sebaik-baiknya," tuturnya.

"Intinya adalah kami yakin Kementerian PANRB bahwa ASN atau PNS sudah meyakini nilai-nilai dasarnya, dan tentu itu akan diterapkan dan dilaksanakan sesuai dengan sebaik-baiknya," Mudzakir menandaskan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Jelang Pilkada Serentak, PNS Diimbau Jaga Netralitas

Hari Pertama Masuk, PNS DKI Jakarta Langsung Aktif Bekerja
Sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemprov DKI Jakarta melakukan tugas dinasnya di Balaikota, Jakarta, Senin (10/6/2019). PNS kembali berdinas di masing-masing instansinya pada hari pertama kerja usai libur nasional dan cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1440 H. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) mengimbau kepada para Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk memegang teguh netralitas pada masa-masa jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.

"Untuk itu, harus sangat berhati-hati, dikawal, dijaga, dan dipastikan kalau ASN betul-betul menjaga netralitasnya," imbuh Kepala Bidang Pembinaan Integritas SDM Aparatur Kementerian PANRB Kumala Sari dalam keterangan tertulisnya, Jumat (29/11/2019).

Netralitas PNS sendiri merupakan azas yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 5/2015 tentang Aparatur Sipil Negara. Azas ini termasuk ke dalam 13 point dalam penyelenggaraan kebijakan dan manajemen SDM.  

Sari menjelaskan bahwa netralitas PNS telah diatur dalam PP 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS dan PP 53/2010 tentang Disiplin PNS. Pada Pilkada 2017 dan Pemilu Serentak 2018, Kementerian PANRB juga telah mengeluarkan surat edaran mengenai pelaksanaan netralitas ASN dalam penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia tersebut.

Pengukuran netralitas pada PNS dibagi menjadi empat indikator. Indikator tersebut antara lain netralitas dalam karier ASN, netralitas dalam hubungan partai politik, netralitas pada kegiatan kampanye, dan netralitas dalam pelayanan publik.

Dari keempat indikator tersebut, pelanggaran netralitas sering terjadi pada indikator ketiga, yaitu netralitas pada kegiatan kampanye. Dalam indikator tersebut terdapat beberapa poin yang merinci mengenai kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh ASN dalam menjaga netralitasnya.

Pertama, penggunaan media sosial tidak mendudukung aktivitas kampanye. Kedua, tidak ikut dalam kegiatan kampanye. Ketiga, tidak membagi-bagi uang dan souvenir kepada pemilih. Keempat, tidak melibatkan pejabat negara dan daerah dalam kegiatan kampanye.

"Selanjutnya, tidak menggunakan fasilitas negara atau pemerintah dalam kegiatan kampanye. Keenam, tidak melakukan mobilisasi PNS lain dalam ajakan memilih paslon. Dan terakhir, tidak memberikan janji program pembangunan kepada masyarakat," sambung Sari.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya