Liputan6.com, Jakarta - Salah satu program 100 hari Menteri Perdagangan Agus Suparmanto adalah menggalakkan Sistem Resi Gudang (SRG). Sistem ini memiliki banyak menfaat bagi para petani. Sayangnya, sistem tersebut belum banyak dimanfaatkan dengan baik.
Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Tjahya Widayanti menjelaskan, Sistem Resi Gudang adalah instrumen pembiayaan perdagangan. Sistem ini bisa menyediakan akses kredit bagi dunia usaha dengan jaminan barang (komoditi) yang disimpan di gudang.
Oleh karena itu, sistem ini sangat bermanfaat bagi petani perorangan, kelompok tani, koperasi tani maupun pelaku usaha seperti pedagang, prosesor, pabrikan.Â
Advertisement
Saat ini terdapat 17 komoditi yang dapat disimpan dalam gudang SRG yaitu gabah, beras dan jagung, kopi, kakao, lada, karet dan rumput Laut, rotan, garam, gambir, teh, kopra, timah, bawang merah, ikan dan pala.
Komoditas tersebut sesuai dengan produk andalan di Indonesia mulai dari timur hingga barat "Masing-masing daerah punya potensi sendiri dalam mengembangkan daerahnya, misalnya di Wakatobi ada komoditi rumput laut, dan sudah dikelola dengan Sistem Resi Gudang," kata Tjahya di Kementrian Perdagangan, Jakarta, Selasa (3/12/2019).
Baca Juga
Salah satu langkah percepatan pelaksanaan Sistem Resi Gudang secara nasional, Kementerian Perdagangan telah menjalin kerja sama dengan Pemerintah Daerah. Bentuk kerja sama tersebut dengan membangun 123 gudang SRG secara bertahap, sejak 2009 hingga 2018.
Namun ternyata, pengelolaannya Sistem Resi Gudang tersebut masih belum optimal. Sejauh ini baru ada sepuluh daerah yang mampu mengelola gudang-gudang tersebut dengan baik. Sepuluh daerah tersebut adalah Lebak, Kuningan, Ciamis, Demak, Purworejo, Bolaang Mongodow, Wakatobi, Dompu, Probolinggo, dan Sumenep.
Tjahya menjelaskan, banyak gudang yang belum dimanfaatkan dengan baik arena adanya beberapa kendala. Contohnya adalah pemahaman petani terhadap SRG masih minim.
Kendala pertama adalah biasanya petani adalah petani penggarap, dan sudah terikat dengan ijo. Selain itu, belum optimalnya dukungan pemerintah daerah terhadap keberlanjutan kebijakan pengembangan Sistem Resi Gudang.Â
Di luar itu juga keterbatasan kelembagaan SRG di daerah, khususnya pengelola gudang. "Pengelola gudang bukan penjaga gudang, pengelola itu yang punya jiwa entrepreneur, kreativitas, dan inovatif. Dia juga harus bisa mengembangkan komoditi dan paham apa yg dibutuhkan oleh petani, seperti pupuk, alat, dan angkutan," kata Tjahya.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pengelola Gudang
Dibutuhkan kriteria pengelola yang mampu menguji komoditi. Hal tersebut bertujuan agar bisa mengefisiensikan jarak tempuh untuk melakukan uji mutu. Serta pengelola gudang harus memiliki alat untuk uji mutunya.
Pihak manapun bisa menjadi pengelola, seperti dari swasta, BUMN, BUMD, koperasi, dan lain sebagainya, yang terpenting harus memenuhi persyaratan dan berbadan hukum. Tjahya mengatakan bahwa pengelola adalah suatu badan yang sudah berbadan hukum. Jadi tidak sembarangan dalam memilih pengelola gudang.
Selain sulitnya mencari pengelola, kendala SRG lainnya adalah pendanaan. keterbatasan lembaga penyalur pembiayaan SRG baik Bank maupun Non Bank, ada kekhawatiran wanprestasi Pengelola Gudang menyebabkan gagal bayar. Namun, kini pihaknya sedang berusaha untuk mencari jalan keluar terkait kendala tersebut.
"Sudah ada tiga kementrian yg men-support. Kita bisa menghidupkan kembali resi-resi gudang yang belum menggunakan SRG," ujar Tjahya.
SRG ini akan berjalan dengan baik, jika pemerintah daerah juga ikut andil dalam hal ini. Sebagai salah satu faktor SRG bisa berhasil adalah kepala daerah merestui jalannya resi gudang.
Menurut UU Nomor 9 Tahun 2006 kemudian direvisi menjadi UU Nomor 9 Tahun 2011, Kepala daerah juga memiliki peranan, bukan hanya pemerintah pusat saja.
Advertisement