Alasan Sulitnya Mengangkat Honorer Menjadi PNS

Pengangkatan tenaga kerja honorer menjadi PNS harus berdasarkan usulan Pemda.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Des 2019, 16:00 WIB
Diterbitkan 10 Des 2019, 16:00 WIB
20160711-PNS-DKI-Jakarta-YR
Ilustrasi Foto PNS. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Tjhajo Kumolo mengungkapkan kendala pengangkatan tenaga kerja honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Salah satunya adalah keengganan pemerintah daerah (pemda) menanggung gaji tenaga honorer usai diangkat menjadi PNS.

Pengangkatan tenaga kerja honorer menjadi PNS harus berdasarkan usulan Pemda. Usai disetujui, pembayaran gajinya merupakan tanggung jawab pemda, meski kemudian pemda justru meminta hal itu menjadi kewajiban pusat.

"Yang mengusulkan tenaga honorer itu daerah, tapi kan pada masa sekarang ini daerah tidak mau bayar. Problem-nya daerah nggak mau, mintanya pusat yang bayar," kata dia, di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Dia mengungkapkan, pemda menolak membayar gaji karena beranggapan hal itu merupakan kewenangan pemerintah pusat sebagai pusat anggaran.

"Pusat kan yang punya uang bukan kami (pemda), kami hanya mengatur proses ujiannya, NIK-nya, dan sebagainya," ujarnya.

Dia mengungkapkan selama ini banyak pemda yang melakukan tes pengangkatan tenaga kerja honorer. Namun setelahnya, selalu terkendala masalah pembayaran gaji.

Sementara itu, Kementerian PANRB sendiri tidak memiliki kewenangan mengenai hal itu karena proses pengangkatan melibatkan beberapa kementerian lainnya yaitu Kementerian Keuangan.

"Ada pemda yang dulu dia mengangkat banyak tenaga honorer, pada saat sebagian lulus tes dia nggak mau bayar (gajinya). Apalagi UU yang sekarang menyangkut guru, yang dulu dibebankan ke kabupaten/kota, sekarang menjadi tanggung jawab provinsi," tutupnya.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Sri Mulyani Pertimbangkan Usul KPK Soal Sistem Penyelarasan Gaji PNS

Menteri Kabinet Kerja Jilid I Hadiri Pelantikan Presiden-Wapres
Menteri Keuangan, Sri Mulyani. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo meminta agar pemerintah menerapkan sistem penyelarasan gaji atau one single salary system Pegawai Negeri Sipil (PNS). Menurutnya, hal ini sebagai salah satu upaya melakukan upaya reformasi birokrasi demi mencegah tindakan korupsi.

Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, permintaan tersebut harus dikaji secara mendalam agar tak merugikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Jadi disampaikan oleh Pak Agus (Ketua KPK) bahkan sekarang inginnya one single salary system. Tentunya kalau yang sekarang dilakukan secara bertahap itu tidak bisa dilakukan adjustment (penyesuaian)," ujar Sri Mulyani sepeti ditulis Selasa (10/12/2019).

Penyelarasan gaji tidak bisa dilakukan secara langsung tetapi harus melalui kajian mendalam. Sebab, banyak negara yang menerapkan hal tersebut namun menjadi bangkrut karena tak mampu menanggung beban.

"Jika tidak sesuai APBN kemudian sebabkan kondisi yang krisis atau collapse seperti di negara-negara latin. Jadi perbaikan dari sisi remunerasi betul-betul dikaitkan dengan kemampuan negara," jelasnya.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, perilaku anti korupsi tak selalu dihubungkan dengan pendapatan yang diterima oleh PNS. Tetapi, anti korupsi tersebut muncul dan melekat bersamaan dengan adanya integritas yang kuat.

"Tadi saya sebutkan kalau membuat ASN baik dari sisi birokrasi biasa, penegak hukum, dapatkan suatu level reason itu kewajiban. Namun kalau harus match dari tingkat sogokan ya tidak akan mungkin, karena nilainya terbatas. Jadi memang tetap saja adalah remunerasi disertai tolak ukur kinerja dan fungsi akuntabilitas dan dari sisi integritas. Itu harusnya 1 paket," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya