Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Covid-19 yang membawa perubahan mendasar dalam iklim bisnis global telah memaksa korporasi untuk mengkalibrasi ulang strategi transformasi digital mereka. Sebanyak 93 persen korporasi menyatakan mereka telah mengubah prioritas TI mereka baik secara bertahap, signifikan, atau dramatis.
Pandemi ini telah menunjukkan bagaimana korporasi membutuhkan teknologi adaptif dan alat kolaborasi yang aman untuk memastikan konektivitas tanpa kendala, terutama dalam menghadapi kondisi bisnis yang sulit dan volatilitas pasar.
Hal tersebut terungkap dalam penelitian bertajuk Business Continuity, Flexible Working and Adaptive Infrastructure: Five Actions for When the Economy Reopens Following COVID-19 yang diprakarsai oleh Telstra, perusahaan telekomunikasi dan teknologi terkemuka dan salah satu perusahaan induk dari telkomtelstra di Indonesia.
Advertisement
“Bisnis di Asia Tenggara dan Australia-Selandia Baru memiliki persiapan yang lebih baik untuk menghadapi pandemi dibandingkan wilayah lain, dimana mereka melihat tantangan COVID-19 sebagai katalis utama dalam strategi TI. Pandemi ini telah menunjukkan kepada kita bagaimana bisnis memerlukan teknologi adaptif dan alat kolaborasi yang aman untuk menjamin konektivitas, terutama dalam menghadapi kondisi bisnis yang sulit dan pasar yang terus bergejolak,” kata Managing Director Telstra Asia Pasifik Marjet Andriesse dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (20/8/2020).
Penelitian yang mengumpulkan data lebih dari 120 pemimpin bisnis di Asia Pasifik, Eropa, dan Amerika Serikat dilakukan untuk memberikan wawasan tentang mengkalibrasi ulang strategi TI. Penelitian yang dilakukan Telstra dengan GlobalData ini mensurvei jajaran petinggi korporasi (C-suites) dan pembuat keputusan Teknologi Informasi (TI) untuk memahami tanggapan organisasi terhadap pandemi.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan korporasi di wilayah Asia Pasifik, Eropa, dan AS sedang memperbarui strategi TI secara menyeluruh, dengan prioritas utama terkait proses kerja jarak jauh (remote). Ini termasuk berbagai inisiatif seperti memastikan karyawan dapat terhubung dengan aman saat mengakses aplikasi dan data.
Dalam penelitian tersebut juga terungkap bahwa hampir satu dari sepuluh perusahaan tidak memiliki Rencana Kesinambungan Bisnis (Business Continuity Plan/BCP) pra-COVID-19.
Sementara organisasi-organisasi yang memiliki BCP, hampir sepertiga (29 persen) tidak memiliki rencana untuk menanggapi peristiwa global yang tidak terduga seperti pandemi. Di Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru (SEA dan ANZ), hanya 22 persen korporasi yang mengaku memiliki BCP lengkap serta menunjukkan kesiapan untuk menghadapi peristiwa besar, termasuk pandemi.
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perubahan di Perusahaan
Hasil penelitian juga menunjukkan perlunya bisnis untuk tidak hanya secara signifikan memperluas ruang lingkup BCP, tetapi mengidentifikasi lebih banyak kerentanan dan mempertimbangkan strategi baru untuk mengendalikan risiko yang dapat timbul.
Solusi konferensi video dan pusat kontak berbasis cloud menjadi beberapa teknologi paling transformatif bagi perusahaan. Saat ini video menjadi penopang utama kolaborasi di berbagai bidang. Sebanyak 98 persen responden melaporkan adanya peningkatan kebutuhan akan konferensi video untuk menggantikan pertemuan tatap muka pasca pemulihan COVID-19.
“Sangat menarik melihat tanggapan yang sangat positif untuk konferensi video. Meskipun teknologinya selalu tersedia, terjadi perubahan persepsi dari era sebelum dan sesudah COVID-19,” ujar Dustin Kehoe, Direktur Layanan GlobalData.
Di sisi lain, lanjut dia, organisasi sedang meninjau pendekatan baru untuk keterlibatan pelanggan (customer engagement). Hampir setengah dari responden telah mengadopsi cloud-first contact center strategy untuk meningkatkan kemampuan end to end guna menambah kecepatan dan kelincahan saat melayani pelanggan. Kawasan Asia Utara menunjukkan peringkat penggunaan tertinggi sebesar 57 persen, diikuti oleh Asia Tenggara dan Australia-New Zealand di level 52 persen.
Dia juga memaparkan bahwa jaringan akan memainkan peran yang lebih penting dalam menghubungkan pekerja secara remote. Menurut hasil survei, delapan dari sepuluh bisnis memiliki sejumlah persentase karyawan yang tidak dapat bekerja karena tantangan TI. Karena itu, salah satu prioritas utama TI saat ini adalah mendukung produktifitas tenaga kerja secara remote.
Sentimen ini sangat kuat disuarakan oleh responden dari Eropa, Asia Tenggara, dan Australia-Selandia Baru. Pasca COVID-19, kebutuhan jaringan lebih ditentukan dari sisi software-defined, cloud-ready, lebih otomatis dan fleksibel.
Sebanyak 77 persen responden di Singapura, Malaysia, Filipina, Australia dan Selandia Baru menetapkan ketangguhan dan keamanan TI untuk kelangsungan bisnis sebagai prioritas utama.
Untuk itu, mereka gencar berinvestasi dalam alat Unified Communications and Collaboration, termasuk konferensi video untuk berkolaborasi secara remote, mempercepat adopsi cloud, dan mencari solusi TI yang mampu menggabungkan otomatisasi dan digital tools. Sebanyak 84 persen pemimpin bisnis di kawasan tersebut melihat ini sebagai prioritas tertinggi, melampaui rata-rata global 74 persen.
Advertisement