RUU Cipta Kerja Bukan Solusi Satu-satunya Datangkan Investasi

RUU Cipta Kerja terus menjadi polemik tersendiri dan menuai berbagai respon dari masyarakat.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 21 Agu 2020, 18:15 WIB
Diterbitkan 21 Agu 2020, 18:15 WIB
Padmanaba Akan Gelar Reuni Akbar di Jakarta
Menurut Ketua Panitia, Hendri Saparini,tahun ini para alumni lebih antusias dibanding tahun lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Pembahasan RUU Cipta Kerja terus menjadi polemik tersendiri dan menuai berbagai respon dari masyarakat. Bukan hanya buruh, ekonom turut mengkritisi kebijakan ini.

Dimana dalam RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law ini lebih disebut-sebut membantu investor dalam penyederhanaan birokrasi. Harapannya tentu menarik lebih banyak investor.

Meski begitu, Ekonom Senior & Pendiri CORE Indonesia Hendri Saparini menilai kebijakan ini belum mencakup implikasi lain dari mulusnya investasi yang diharapkan dari RUU ini.

“Kita tidak bisa kemudian memudahkan investasi saja. Permasalahan kita ini kan sangat luas di dalam masalah-masalah investasi, maka kita juga harus mendiskusikan bagaimana agar untuk mempercepat investasi itu tidak sekedar dimudahkan. Karena kita tidak boleh ada kesenjangan dalam kepemilikan aset. Tidak boleh ada kesenjangan di dalam mengakses sumber daya dan sebagainya,” beber dia dalam diskusi virtual BRIEFER.id, Jumat (21/8/2020).

Menurutnya, RUU Omnibus Law ini hanya membidik pada kelancaran investasi melalui penyederhanaan regulasi. Sementara tidak memotret implikasi lain yang mungkin timbul di kemudian hari.

“Kita tidak melihat adanya upaya untuk memperbaiki struktur. Nanti kalau investasi masuk sangat cepat, ekonomi memang akan tumbuh tinggi. Tapi pertanyaannya adalah, apakah struktur ini adil? apakah ini juga akan menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial yang ada?,” ujar Hendri.

Hendri menambahkan, yang seharusnya menjadi fokus saat ini adalah mereform kebijakan. “Apakah RUU Cipta Kerja ini akan menjadi senjata yang tepat untuk melakukan reformasi ekonomi. Menurut saya yang jadi PR sekarang ini bagi indonesia me-reform dulu, tidak sekedar mendorong masuknya investasi,” tukas dia.

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

RUU Cipta Kerja Dinilai Pro Investasi

Elemen Buruh Tolak RUU Omnibus Law
Elemen Buruh melakukan aksi di depan Gedung MPR/DPR/DPD Jakarta, Rabu (12/2/2020). Dalam aksinya mereka menolak draft Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang saat ini masih dibahas oleh DPR dianggap sebagai jalan tengah antara kepentingan investasi, UMKM, dan kepentingan pekerja.

Hal tersebut terungkap dari hasil survei nasional Cyrus Network "Penilaian Publik Terhadap RUU Cipta Kerja dan Penanganan Dampak Covid-19" yang dipaparkan secara virtual, Senin (27/7/2020).

"Secara umum, persepsi terhadap RUU Cipta Kerja cukup baik dengan 69 persen responden setuju terhadap RUU ini. Bahkan, publik menilai RUU Cipta Kerja merupakan jalan tengah antara kepentingan investasi, UMKM, dan kepentingan pekerja. Hal ini terlihat dari 72 persen responden yang menilai RUU ini pro investasi, tapi tidak serta merta mengabaikan UMKM karena 67 persen responden juga menilai RUU ini pro terhadap UMKM, dan 64 persen responden menganggap RUU ini pro terhadap pekerja," kata Pengamat Kebijakan Publik Riswanda di Jakarta, Senin (27/7/2020).

Tingkat pengetahuan responden terkait RUU Cipta Kerja mencapai angka 20,7 persen dari total seluruh responden. Tercatat, 80 persen dari responden yang pernah mendengar soal pembahasan RUU Cipta Kerja tersebut, merasa memang perlu ada penciptaan lapangan kerja yang seluas-luasnya oleh pemerintah.

Bahkan, sebanyak 85 persen responden sadar dan setuju bahwa penciptaan lapangan kerja perlu dilakukan dengan mempermudah syarat masuknya investasi dan pendirian usaha di Indonesia.

"Sebanyak 84 persen responden juga mendukung penyederhanaan regulasi yang berbelit-belit dan mempersulit investasi. Tercatat, 73 persen responden juga menganggap tingkat kesulitan memulai usaha di Indonesia cukup tinggi," kata Riswanda.

Hal-hal yang dianggap responden menjadi permasalahan sulitnya investasi dan memulai usaha di Indonesia antara lain adalah produktifitas tenaga kerja yang rendah (60 persen), skill dan kemampuan tenaga kerja Indonesia yang masih rendah (58 persen), dan daya saing yang lebih rendah dibanding tenaga kerja asing (57 persen).

"Lebih jauh lagi, 61 persen responden menilai bahwa RUU Cipta Kerja ini adalah solusi untuk perbaikan ekonomi pasca krisis yang diakibatkan wabah Covid-19 yang melanda Indonesia," kata pengamat kebijakan publik dari Universitas Sultan Ageng Tritayasa ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya