Kurang Literasi, Ini Tantangan Besar Kembangkan Fintech di Indonesia

Layanan finansial berbasis digital (fintech) jadi primadona di tengah pandemi.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 24 Agu 2020, 12:50 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2020, 12:50 WIB
Pertumbuhan Layanan Digital Bank Meningkat di Masa Pandemi COVID-19
Nasabah memanfaatkan layanan digital bank melalui layanan Mandiri Syariah Mobile di Jakarta, Rabu (8/7/2020). Mandiri Syariah juga mengoptimalkan metode pembayaran digital tanpa uang tunai sebagai upaya untuk mengurangi risiko penyebaran Covid-19 di Era New Normal. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Layanan finansial berbasis digital (fintech) jadi primadona di tengah pandemi. Hal ini seiring dengan pembatasan sosial guna menekan penyebaran covid-19, sehingga banyak orang memanfaatkan layanan daring.

Dengan situasi ini, fintec disebut-sebut menjadi salah satu kunci penting dalam pemulihan ekonomi nasional. Namun demikian, Deputi Komisioner Institute dan Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sukarela Batunanggar menyebutkan sejumlah tantangan besar yang menghambat perkembangan finansial digital di Indonesia.

Salah satunya yakni rendahnya inklusi keuangan di Indonesia. Berdasarkan data OJK, sebanyak 54 juta masyarakat Indonesia masih belum terjangkau layanan keuangan konvensional salah satunya bank sehingga banyak masyarakat yang belum memiliki akun bank. Meski begitu OJK menargetkan 75 persen masyarakat bisa terinklusi pada 2020.

“Ada gap (pembatas) yang besar dalam pendanaan kredit UMKM, rendahnya literasi financial digital, dan rendahnya sumber daya untuk fintech dan startup,” kata Sukarela dalam OJK Virtual Innovation Day, Senin 24 Agustus 2020

Rendahnya literasi financial digital ini cukup menjadi sorotan. Pasalnya, pengguna internet di Indonesia mencapai 52,8 persen dan 34 persen memahami channel digital. Namun, hanya 8,3 persen pengguna channel digital.

Begitupun tantangan terkait rendahnya sumber daya manusia untuk fintech dan startup. Berdasarkan data Bank Dunia, 60 persen responden setuju adanya kekurangan sumber daya dalam fintech, dan 58 persen menemukan adanya sumber daya yang tidak cukup memenuhi kriteria mereka.

Untuk itu, OJK merespon tantangan tersebut dengan 3 cara. Yakni menerbitkan regulasi yang sesuai dengan kebutuhan, mengembangkan kapasitas finansial, dan mengembangkan industri finansial.

Menurutnya, regulasi yang seimbang berfungsi untuk stabilitas finansial, perlindungan konsumen, pertumbuhan yang terakselerasi, dan pengembangan inovasi finansial.

“Pengembangan dalam industri keuangan meliputi inovasi finansial, perlindungan konsumen, market conduct, dan people empowerment. Membangun kapasitas finansial meliputi akses finansial untuk masyarakat, literasi finansial, dan membangun jiwa entrepreneurship,” pungkas dia.

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kembangkan Keuangan Digital, OJK Gandeng Securities Commission Malaysia

Ilustrasi OJK
Ilustrasi OJK (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan Securities Commission (SC) Malaysia. Penandatanganan dilakukan secara virtual pada Senin (24/8/2020) ini, dalam rangkaian Virtual Innovation Day 2020.

MoU tersebut mencakup pembiayaan dan pengembangan infrastruktur inovasi keuangan digital. “Secara khusus, MoU akan memfasilitasi berbagi informasi, teknologi dan pengembangan Peraturan serta melindungi dan memberikan peluang untuk kolaborasi dalam inovasi,” jelas SC Chairman Datuk Syed Zaid Albar.

Datuk Syed menjelaskan, perkembangan keuangan digital termasuk financial technology (fintech) di pasar modal Malaysia telah mendapatkan momentum meskipun menghadapi perlambatan dalam aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Jumlah total dana yang dihimpun melalui ekuitas hingga semester I 2020 meningkat 70 persen (Year on Year).

“Fintech akan menjadi bagian integral dari pertumbuhan berkelanjutan dan kemakmuran Asia dengan populasi 670 juta dan PDB yang diharapkan sebesar USD 4,7 triliun pada tahun 2025 dan Asia sebagai salah satu wilayah dengan pertumbuhan tercepat di dunia, mengingat kelas menengahnya yang sedang berkembang dan penetrasi internet yang tinggi,” beber dia.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida menyampaikan harapannya atas kerja sama ini.

“Kami berharap memiliki kerangka kerja dan kerja sama yang efektif untuk Indonesia dan Malaysia, terutama untuk ekosistem keuangan kita. Kita harus memiliki dialog kebijakan yang bermanfaat antara regulator dan meningkatkan kolaborasi dalam banyak aspek untuk pengembangan lebih lanjut produk dan layanan Keuangan digital di masa depan,” kata dia.

Menurut Nurhaida, inovasi keuangan digital dapat memainkan peran penting khususnya saat pandemi ini. Sebagai regulator, OJK berkomitmen tinggi untuk mengembangkan inovasi yang memenuhi aspek potensial melalui regulasi yang mendukung.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya