Ekonom Indef Ini Ungkap 7 Alasan untuk Menolak RUU BI

RUU ini dikabarkan akan mengembalikan pengawasan perbankan kepada Bank Indonesia yang sebelumnya menjadi tanggung jawab Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Sep 2020, 18:00 WIB
Diterbitkan 01 Sep 2020, 17:46 WIB
Drajad Wibowo
Ekonom Drajad Wibowo (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Ekonom Indef Dradjad Wibowo ikut angkat suara perihal RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) yang tengah disusun Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

RUU ini dikabarkan akan mengembalikan pengawasan perbankan kepada Bank Indonesia yang sebelumnya menjadi tanggung jawab Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Menurutnya Perppu reformasi keuangan yang tengah disusun Baleg ini dianggap tidak logis, tidak jelas efektivitasnya, dan membahayakan stabilitas moneter dan keuangan.

Dia pun merinci setidaknya ada tujuh alasan atas pandangannya tersebut. "Mengapa saya bilang tidak logis, tidak jelas efektivitasnya, dan membahayakan stabilitas moneter dan keuangan kita. Setidaknya ada 7 alasan yang saya ungkapkan," jelas dia dalam webinar, Selasa (1/9/2020).

Pertama, tidak ada satu negarapun yang merombak struktur dan sistem otoritas moneter dan keuangan di tengah krisis akibat pandemi Covid-19.

"Kemudian kalau Indonesia mau mengubah di tengah krisis, kita jadi negara yang aneh di dunia," imbuhnya.

Kedua, negara yang pertumbuhan ekonominya lebih anjlok dari Indonesia pun mereka tidak melakukan perombakan regulasi keuangan.

"Kan kita lihat Inggris, Amerika Serikat dan negara yang ekonomi di kuartal II-2020 anjlok hingga dua digit pun tidak merubah regulasi yang ada," papar dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Alasan Lain

Drajad Wibowo
Ekonom Drajad Wibowo (Liputan6.com/Faizal Fanani

Ketiga, perombakan regulasi ini bukan praktek terbaik internasional (PTI). "Karena di tengah pandemi ini, PTI adalah strategi ganda. Mulai dari penanganan pandemi melalui penemuan vaksin dan kedua melakukan stimulus ekonomi masif, kalau di Indonesia ada PEN," ujarnya.

Keempat, reformasi Perppu keuangan akan memberikan kesan bahwa pemerintah sedang bingung dan panik menyikapi krisis yang muncul.

"Akibatnya ini akan jelek direspon pasar dengan mudahnya mengeluarkan Perppu, sehingga efeknya akan berantai dan tidak baik karena semua ditabrak," tegasnya.

Kelima, menjaga independensi BI selaku bank sentral sangat penting. Dimana negara maju yang demokratis, mulai dari Amerika Serikat (AS) sampai Inggris, berkomitmen menjaga independensi bank sentral.

"Bahkan, di AS, presiden paling superpower (Donald Trump) pun tidak berhak intervensi kebijakan The Fed," ucapnya.

Keenam, RUU tentang BI berpotensi menciptakan ditaktor moneter dan keuangan tanpa kontrol yang maksimal dari regulator. "Sehingga Indonesia berpotensi kembali ke jaman jahiliyah dimana kasus BLBI pernah terjadi," ungkapnya.

Terakhir, solusi krisis akibat pandemi ini bukan melalui Perppu reformasi keuangan. Melainkan penguatan lembaga-lembaga KSSK, termasuk LPS.

"Khususnya perampingan penanganan bank bermasalah karena di UU LPS saat ini tidak memungkinkan hal tersebut,"tutupnya.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya