70 Persen LPG Masih Impor, Migrasi ke Kompor Listrik Bisa Hemat APBN

Migrasi dari LPG ke kompor listrik mampu menghemat dana APBN dalam jumlah besar.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 10 Sep 2020, 11:45 WIB
Diterbitkan 10 Sep 2020, 11:45 WIB
Tinggal di Apartemen, Enaknya Pakai Kompor Induksi atau Kompor Listrik?
Kompor Listrik dan Kompor Induksi.

Liputan6.com, Jakarta - PT PLN Persero terus berkomitmen untuk mendorong penggunaan kompor induksi listrik di masyarakat. Diantaranya melalui peresmian Kampung Listrik PLN Hijau, di Kampung Hijau Kemuning Tangerang dan Kampung Hijau Batu Ampar Jakarta Timur.

Dalam kesempatan ini, Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini bahkan menargetkan migrasi satu juta dari kompor liquefied petroleum gas (LPG) ke kompor listrik.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi menyebutkan migrasi tersebut mampu menghemat dana APBN dalam jumlah besar. Dimana selama ini banyak digunakan untuk membiayai impor dan subsidi LPG.

“Lebih dari 70 persen kebutuhan LPG di dalam negeri harus diimpor. Sehingga selain membebani APBN, juga ikut memperbesar defisit neraca perdagangan migas dalam beberapa tahun terakhir ini. Sedangkan subsidi terhadap Gas Melon cenderung meningkat pada setiap tahunnya,” tutur dia dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Kamis (10/9/2020).

Pada 2019, Fahmy mencatat subsidi gas melon kembali naik hingga mencapai sebanyak 6,97 juta metric ton, atau senilai Rp 75,22 triliun. “Subsidi itu lebih besar ketimbang subsidi listrik yang mencapai Rp 62,2 triliun pada periode yang sama,” kata dia.

Fahmy menambahkan, migrasi dari kompor gas ke kompor listrik induksi ini akan berhasil digunakan seluruh lapisan masyarakat, termasuk pelanggan listrik 450 VA jika kompor listrik yang digunakan berdaya listrik rendah, maksimal 150 watt. Dengan penggunaan daya listrik yang rendah, biaya kompor induksi jatuhnya bisa lebih murah ketimbang biaya penggunaan kompor LPG 3 Kg.

Lebih lanjut, Fahmy menguraikan bahwa biaya untuk memasak 10 liter air menggunakan kompor LPG sebesar Rp 2.055, sedangkan biaya untuk kompor induksi hanya Rp 1.426. Migrasi secara masif dinilai dapat mengatasi potensi kelebihan pasokan (over supply) listrik PLN pasca selesainya proyek listrik 35.000 MW. Selain itu, migrasi ke kompor listrik juga akan memicu berkembangnya industri kompor listrik induksi berdaya listrik rendah di Indonesia.

“Penggunaan kompor listrik secara luas memang lebih ramah lingkungan daripada kompor gas. Namun, PLN juga harus melakukan migrasi penggunaan energi primer dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT), yang lebih ramah lingkungan,” kata dia.

Namun, lanjut Fahmy, tanpa peningkatan penggunaan EBT dalam pembangkit listrik PLN, penggunaan kompor listrik tidak akan memberikan kontribusi signifikan terhadap pengurangan pencemaran udara.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

DPR Minta Pemerintah Kaji Ulang Penurunan Subsidi LPG 3 Kg di 2021

Subsidi Energi
Pekerja mereproduksi tabung gas elpiji 3 kg di Depot LPG Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (29/1). Pemerintah dan Badan Anggaran DPR menyepakati kenaikan anggaran subsidi energi Rp 4,1 triliun di tahun 2019 menjadi Rp 160 triliun. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Pemerintah menetapkan volume LPG subsidi 3 kg dalam nota keuangan RAPBN tahun anggaran 2021 sebesar 7 juta MTon (metrik ton).

Angka ini menurun dibandingkan hasil rapat kerja antara Komisi VII DPR RI dan Kementerian ESDM pada 27 Juni, yakni 7,5-7,8 juta MTon.

Hal ini lantas mendapatkan respon dari komisi VII DPR. Dimana sebagian besar mempertanyakan alasan dibalik penurunan anggaran tersebut.

Anggota Komisi VII DPR Fraksi PDI Perjuangan Dony Maryadi Oekon mengatakan, dalam kondisi normal kebutuhan LPG 3 kg terus meningkat secara tahunan. Bahkan, dalam beberapa tahun belakang, hampir naik 200 ribu MTon.

Sementara dalam kondisi pandemi Covid-19, Dony menyebutkan adanya kebutuhan LPG 3 kg yang meingkat.

“Jadi kalau tanpa Covid-19 saja kita harap naik jadi 7,5 juta, ini ada Covid-19 harusnya tambah lagi," kata Dony dalam rapat kerja komisi VII dengan Menteri ESDM, Rabu (2/9/2020).

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Anggota Komisi VII Fraksi PKB Abdul Wahid. Menurutnya, keberadaan LPG subsidi bisa mendorong daya beli masyarakat yang nantinya mendorong pergerakan konsumsi seperti yang diharapkan.

"Ketika kenyataan di lapangan LPG 3 kg masih sulit didapatkan masyarakat miskin, kalau tidak nambah maka kemiskinan bisa bertambah. Di 2019 kemiskinan stabil, 2020 ada pandemi, kemiskinan tentu bertambah, masa’ subsidinya tetap segitu? Ini perlu ditinjau ulang keberpihakan pada masyarakat," kata Abdul.

Selain itu, Anggota Komisi VII DPR lainnya dari Fraksi Demokrat Sartono Hutomo juga mengatakan, Presiden Joko Widodo dalam pidato di nota keuangan menyebutkan pemerintah mengambil kebijakan ekspansif. Kondisi pandemi membuat angka pengangguran dan kemiskinan bertambah.

Harapannya pemerintah menambah besaran subsidi yang langsung bersentuhan dengan masyarakat miskin, salah satunya LPG 3 kg.

"Karena dengan keputusan ekspansif tadi otomatis harus bagaimana meningkatkan daya beli ini, kalau ada subsidi ini pendapatan dia bisa digunakan untuk kebutuhan lain," jelas Sartono.

Sebagai informasi, dalam APBN 2020 volume subsidi LPG 3 kg ditetapkan sebesar 7 juta MTon. Realisasi hingga Juli 2020 sebesar 4,10 juta MTon dan outlook hingga akhir tahun sebesar tujuh juta MTon.

Kucuran Subsidi BBM dan LPG Turun, Listrik Naik di Semester I-2020

Subsidi Energi
Pekerja mereproduksi tabung gas elpiji 3 kg di Depot LPG Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (29/1). Pemerintah dan Badan Anggaran DPR menyepakati kenaikan anggaran subsidi energi di 2019 dari Rp 156,6 triliun menjadi Rp 160 triliun. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Realisasi subsidi BBM dan LPG pada semester I-2020 turun. Menurut catata Kementerian Keuangan (Kemenkeu) realisasi subsidi BBM dan LPG tercatat Rp 25,4 triliun, lebih rendah dibandingkan pada periode sama tahun lalu sebesar Rp 37,7 triliun.

"Angka realisasi subsidi enegri secara nominal lebih rendah dari tahun lalu karena ada perubahan kebijakan tetap subsidi solar dan volume konsumsi," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati di Ruang Rapat Banggar DPR RI, Jakarta, Kamis (9/8/2020).

Adapun anggaran subsidi BBM dan LPG lebih rendah dipengaruhi besaran subsidi tetap solar yang tercatat turun Rp 2.000 per liter menjadi Rp 1.000 per liter.

Kemudian terkait volume konsumsi yang rendah ditenggarai oleh kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari pemerintah.

Kondisi tersebut justru berbanding terbalik dengan realisasi subsidi listrik sepanjang pertengahan tahun 2020.

Tercatat subsidi listrik dikeluarkan pemerintah sudah mencapai Rp 22,9 triliun. Atau sekitar 42,1 persen dari pagu sebesar Rp 54,5 triliun.

Adapun realisasi ini juga meningkat jika dibandingkan pada periode sama tahun lalu yang tercatat hanya Rp 18,5 triliun saja.

Adapun realisasi anggaran subsidi listrik tersebut lebih tinggi karena sudah termasuk realisasi diskon listrik untuk rumah tangga daya 450 Va dan 900 Va, subsidi Rp3,1 triliun dan dipengaruhi juga oleh depresiasi nilai tukar Rupiah.  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya