Upah Buruh Terus Naik Tiap Tahun, Ini Dampak Buruknya Bagi Investasi

Kenaikan upah buruh membuat investor merelokasi tempat usaha ke provinsi lain hingga luar negeri.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Sep 2020, 17:15 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2020, 17:15 WIB
Hari Buruh-Mayday 2017-Reog-Jakarta- Helmi Afandi-20170501
Sejumlah wanita membawa bendera saat aksi Hari Buruh di Jakarta, Senin (1/5). Dalam aksinya para buruh meminta sistem kerja kontrak dan upah rendah dihapus. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Upah buruh di Indonesia terus mengalami kenaikan setiap tahun. Bahkan pemerintah membuat aturan khusus mengenai kenaikan upah buruh dari dengan landasan pertumbuhan ekonomi. 

Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) Turro S Wongkeran menilai, kenaikan upah minimum buruh di setiap tahun akan berdampak buruk bagi iklim investasi dalam negeri. Setidaknya dia mencatat ada empat dampak buruk yang berpotensi membuat investor lari dari Indonesia.

"Upah minimum tenaga kerja yang terus meningkat tidak baik bagi iklim investasi Indonesia. Ada empat hal nantinya yang akan dilakukan pengusaha atau investor," kata dia dalam webinar bertajuk 'Kebijakan RUU Cipta Kerja Dalam Perspektif Teori Ekonomi', Jumat (11/10/2020).

Pertama, memicu gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK. Menurutnya PHK menjadi pilihan utama yang kerap dilakukan oleh investor apabila merasa kesulitan untuk memenuhi kewajiban upah buruh.

Kedua, relokasi tempat usaha ke provinsi lain hingga luar negeri. Umumnya pelaku usaha akan memindahkan tempat bisnisnya apabila upah minimum di suatu provinsi terlampau tinggi. Bahkan, peluang untuk pindah usaha hingga keluar negeri menjadi paling besar.

"Nomor kedua biasanya pindah lokasi. Bisa dari provinsi lain yang lebih murah. Tapi bisa juga ke negara lain umumnya. Mereka memilih negara dengan upah minimum harga yang lebih murah," jelasnya.

Ketiga, mendorong digitalisasi. Melalui pemanfaatan teknologi canggih dalam kegiatan produksi otomatis membuat jumlah tenaga kerja menjadi berkurang. "Karena biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan akan jadi sedikit," imbuhnya.

Terakhir, tidak membuka lapangan pekerjaan baru. Adanya kenaikan upah buruh yang tinggi dianggap sebagai suatu beban tersendiri oleh perusahaan. Alhasil pelaku usaha lebih memilih untuk tidak lagi membuka lapangan kerja baru.

"Sebab memindahkan ke divisi lain atau sektor usaha lain akan tidak mungkin dilakukan. Karena sudah ada penggunaan teknologi dalam sistem produksi," tutupnya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Terlalu Mahal

20151124-Demo-Buruh-YR
Ratusan buruh menggelar aksi demo di kawasan industri Pulogadung, Jakarta, Selasa (24/11/2015). Buruh menuntut dicabutnya Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahllil Lahadalia, menyebutkan upah buruh di Indonesia terlampau mahal. Hal itu mengakibatkan investor lebih memilih negara Asia Tenggara lainnya sebagai tempat berusaha.

Data BKPM mencatat upah buruh di Indonesia rata-rata mencapai Rp 3,93 juta per bulan. Sementara, rata-rata upah buruh di Malaysia sebesar Rp 3,89 juta. Sedangkan Vietnam, hanya membanderol upah buruhnya Rp 2,64 juta.

"Upah kita paling tinggi. Jadi, ini kondisi tidak terlalu baik bagi kita dalam melakukan persaingan untuk mengembangkan investasi," ujarnya dalam webinar di Jakarta pada Rabu 12 Agustus 2020.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya