Liputan6.com, Jakarta - Indonesia memiliki kemungkinan besar untuk mengalami resesi teknikal. Pada kuartal II 2020, ekonomi Indonesia minus 5,32 persen yoy. Di kuartal III, ekonomi Indonesia diproyeksi mengalami kontraksi lagi, membuat peluang terjadinya resesi akan semakin besar.
Bahkan dalam Laporan Ekonomi Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Edisi Oktober, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi negatif 1,6 persen, atau lebih parah lagi, negatif 2 persen tahun ini
Resesi mungkin tidak bisa dihindari, tapi Indonesia bisa segera bangkit dengan beberapa cara. Chief Economist East Asia and Pacific dari World Bank Aaditya Mattoo bilang, sebenarnya Indonesia memiliki momentum pertumbuhan yang baik jika Covid-19 tidak melanda.
Advertisement
"Indonesia memiliki beragam industri manufaktur setelah masa krisis keuangan," ujar Aaditya dalam konferensi pers virtual, Selasa (29/9/2020).
Kendati, Indonesia belum memiliki rantai perdagangan yang terintegrasi dengan jaringan internasional yang kuat. "Indonesia belum benar-benar terintegrasi dengan global power chain," lanjutnya.
Jika saja reformasi perdagangan dilakukan, Indonesia bisa pulih lebih cepat dan lebih baik dari resesi. Dia melanjutkan, disusunnya RUU Omnibus Law dapat mendorong kesempatan Indonesia melakukan reformasi perdagangan. Kendati, hal itu saja tidak cukup.
"Kabar baiknya, pemerintah telah mengambil langkah-langkah dengan Omnibus Law untuk melakukan reformasi. Tapi, di satu sisi, Indonesia juga membutuhkan reformasi trade regime," ujarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pengusaha Sebut Resesi Indonesia Tak Separah Krisis Ekonomi 1998
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang menilai kondisi ekonomi yang diprediksi mengalami kontraksi dan membawa pada resesi pada triwulan III-2020 tidak akan seburuk krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada1998.
"Kami melihat fundamental ekonomi masih kuat, kondisi perbankan kita masih kuat, berbeda dengan krisis tahun 1998 atau 2008 di mana industri keuangan kita sudah hancur," kata Sarman ketika dikutip dari Antara, Senin (28/9/2020).
Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta tersebut menegaskan bahwa para pengusaha sejatinya tidak khawatir dengan dampak resesi, namun lebih kepada pandemi COVID-19 itu sendiri jika terjadi secara berkepanjangan.
Pandemi yang terjadi berkepanjangan ini justru berpotensi membuat para pengusaha tidak lagi mampu bertahan, menimbulkan masalah sosial hingga memasuki depresi ekonomi.
Menurut dia, resesi ekonomi di tengah pandemi COVID-19 tentu saja tidak bisa terelakkan, mengingat sejumlah negara maju bahkan telah lebih dahulu mengalaminya.
Dalam kondisi tersebut, pengusaha tidak punya pilihan selain mengambil langkah bertahan, seperti efisiensi biaya operasional, termasuk sumber daya manusia yang mengakibatkan pengurangan karyawan.
"Efisiensi, kemudian mengurangi berbagai pengeluaran-pengeluaran yang mungkin tadinya ada dalam jangka menengah-panjang, akan direvisi. Tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pengurangan karyawan," kata dia.
Sarman menambahkan bahwa pengusaha mendorong agar pemerintah melalui Komite Penanganan COVID-19 dam Pemulihan Ekonomi Nasional mempercepat ketersediaan vaksin, menambah kemampuan testing spesimen, hingga menambah kesediaan tempat tidur di rumah sakit dan ruang isolasi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 diproyeksi resesi dengan terkontraksi minus 2,9 persen sampai minus 1,1 persen.
Advertisement