Penyaluran PEN Lambat Jadi Penyebab Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Belum Bangkit

BPS menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 minus 3,49 persen

oleh Tira Santia diperbarui 05 Nov 2020, 16:10 WIB
Diterbitkan 05 Nov 2020, 16:10 WIB
FOTO: IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Suasana gedung perkantoran di Jakarta, Sabtu (17/10/2020). International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 menjadi minus 1,5 persen pada Oktober, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya pada Juni sebesar minus 0,3 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 minus 3,49 persen (year on year/yoy), dengan kata lain Indonesia resesi.

Ekonom sekaligus Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra el Talattov mengatakan, pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020 minus 3,49 disebabkan efektivitas stimulus fiskal PEN tidak dieksekusi dengan cepat, sehingga kontraksi konsumsi rumah tangga tinggi.

“Kalau kita melihat dari data kuartal III itu faktor utamanya daya beli yang masih sangat lemah, konsumsi rumah tangganya terkontraksi minus 4 persen, dan kuartal II minus 5,5 persen. Jadi hanya berkurang 1,5 persen kontraksinya,” kata Abra kepada Liputan6.com, Kamis (5/11/2020).

Padahal di kuartal III pemerintah sudah jor-joran mengalokasikan stimulus fiskal. Anggarannya sudah dialokasikan cukup besar, yaitu Rp 695,20 triliun. Tap,i kata Abra, stimulus tersebut tidak cukup membantu memperbaiki konsumsi rumah tangga.

“Nah ini salah satu kritik krusialnya, konsumsi rumah tangga kontraksinya masih tinggi, karena ternyata efektivitas stimulus fiskal itu tidak bisa dieksekusi dengan cepat, lantaran realisasi stimulus PEN baru 52 persen sampai 28 Oktober 2020 kemarin,” katanya.

Menurutnya, itulah yang menjadi penyebab utama kenapa konsumsi rumah tangga Indonesia tidak cukup pulih dengan cepat di kuartal III. Selain itu, kontraksi pertumbuhan ekonomi di kuartal III juga dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang masih turun.

“Kepercayaan atau confidence konsumen untuk berbelanja dan membelanjakan uangnya masih sangat rendah. Karena berkaitan kasus covid-19 yang masih tinggi di Indonesia, jadi ada kecenderungan masyarakat kelas menengah ke atas mereka notabennya memiliki pendapatan itu enggan untuk berbelanja seperti kondisi normal,” jelasnya.

Akibatnya konsumsi rumah tangga masih terhambat, dan juga terefleksi dari data pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan. Per September 2020 DPK tumbuh hampir 12,8 persen atau double digit.

Hal ini membuktikan semua masyarakat berbondong-bondong memilih untuk menabung dibandingkan membelanjakan uangnya untuk konsumsi rumah tangga. Itulah yang akhirnya menyebakan konsumsi rumah tangga masih terkontraksi hingga minus 4 persen.

“Saya khawatir pola ini akan berlanjut di kuartal IV, karena tidak cukup ada suatu faktor yang bisa mendorong masyarakat untuk berbelanja lebih banyak lagi di kuartal IV nanti. Apalagi vaksin yang dijanjikan bisa didistribusikan di bulan November ini ternyata meleset dari target awal,” pungkasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Orang Kaya Malas Belanja, Ekonomi Indonesia Minus 3,49 Persen di Kuartal III 2020

FOTO: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di Kuartal III 2020 Masih Minus
Pemandangan deretan gedung dan permukiman di Jakarta, Rabu (1/10/2020). Meski membaik, namun pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020 masih tetap minus. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pertumbuhan ekonomi Inodnesia kembali kontraksi pada kuartal III 2020. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pertumbuhan ekonomi minus 3,49 persen. Pada kuartal Sebelumnya, ekonomi Indonesia juga minus 5,23 persen.

Peneliti Indef Bhima Yudhistira mengatakan, konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2020 masih minus 4,04 persen. Kondisi ini bermakna masyarakat, khususnya kalangan menengah ke atas belum percaya terhadap penanganan pandemi yang dilakukan pemerintah.

"Masyarakat khususnya menengah ke atas belum percaya terhadap penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah," kata Bhima di Jakarta, Kamis, (5/11/2020).

Dia menilai, orang kaya di Indonesia atau kalangan menengah dan atas masih diliputi kekhawatiran untuk belanja di luar rumah masih cukup tinggi. Ini membuat kelas menengah dan atas mengalihkan uang ke simpanan perbankan atau aset aman. Hal ini tentu saja membuat ekonomi Indonesia tidak bergerak,

Situasi ini sulit mengalami perubahan jika masalah fundamental gerak masyarakat masih terbatas. Sebab, masalah pandemi belum juga diselesaikan.

Sisi lain, belanja pemerintah belum mampu mendorong pemulihan ekonomi. Meskipun ada kenaikan pertumbuhan sebesar 9,76 persen, namun kontribusi belanja pemerintah baru mencapai 9,69 persen pada kuartal ketiga ini.

"Kontribusi belanja pemerintah baru mencapai 9,69 persen pada kuartal ke III, hanya naik tipis dibanding kuartal ke II yakni 8,67 persen dari PDB," kata dia.

Selain itu, efektivitas belanja program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 695 triliun masih rendah sehingga membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia masih rendah. Bhima menilai terdapat kesalahan konsep dalam penyaluran stimulus.

Dia mencontohkan program Kartu Prakerja yang tetap dilanjutkan. Padahal target sasaran tidak fokus dan training secara online belum dibutuhkan dalam situasi masyarakat membutuhkan bantuan langsung.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya