Kampanye Hitam Hambat Peningkatan Kesejahteraan Petani Sawit

Kampanye hitam sawit merupakan kegiatan yang kontra investasi dan berpotensi menghambat kesejahteraan masyarakat, khususnya para petani sawit.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Nov 2020, 17:40 WIB
Diterbitkan 19 Nov 2020, 17:40 WIB
Petani Sawit di Jambi
Meski harga sawit cenderung belum stabil, komoditi ini tetap menjadi primadona bagi petani di Provinsi Jambi. (Dok. Istimewa/B Santoso)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Provinsi Papua, Lennis Kogoya menilai kampanye hitam sawit merupakan kegiatan yang kontra investasi dan berpotensi menghambat kesejahteraan masyarakat, khususnya para petani sawit.

Untuk menghindari maraknya kampanye hitam tersebut, khususnya di Papua, menurut Lennis, Pemerintah Pusat perlu melakukan pendekatan dari hati kehati kepada masyarakat di Bumi Cendrawasih.

“Papua bisa dibangun dengan konsep persaudaraan. Harus diakui, selama ini, masyarakat adat Papua kurang dilibatkan dalam pembangunan,” kata dia, dikutip Kamsi (19/11/2020).

Menurut dia, melalui keberadaan perkebunan sawit, masyarakat Papua sebenarnya sangat senang karena dilibatkan sebagai plasma. Hanya saja, persoalan izin masih menghambat.

Jika pemerintah bersedia membangun Kelompok kerja dengan melibatkan semua kepentingan seperti KLHK, Kementerian Pertanian, BPKM dan sebagainya, dirinya menjamin tidak ada lagi kampanye hitam.

Dalam kesempatan itu, Lennis yang juga Tenaga Ahli KSP (Kantor Staf Presiden) mengingatkan kelompok-kelompok tertentu untuk menghentikan provokasi di Papua.

“Masyarakat Papua berhak sejahtera. Jika masyarakat memilih perkebunan sawit tidak ada pihak manapun yang boleh mengganggu. Jika ada kelompok yang menganggu pembangunan perkebunan dan pertanian, silahkan angkat kaki dari Papua sebelum saya usir,” kata dia.

Hal senada dikemukakan Ketua LSM Papua Bangkit, Hengky H. Jokhu M. Dia mengatakan, kampanye hitam sawit adalah kegiatan yang kontra investasi. Untuk itu, Pemerintah perlu melakukan sejumlah langkah seperti pendekatan dan kerjasama yang baik dengan merangkul masyarakat adat di Papua dan Papua Barat. Sehingga kegiatan investasi di wilayah timur Indonesia itu tidak terhambat oleh kampanye hitam.

“Belum adanya pendekatan dan kerjasama yang terintegrasi dari pemerintah pusat terhadap masyarakat adat di Papua mengakibatkan ruang gerak LSM terbuka lebar. Kampanye hitam dan protes dengan memanfaatkan masyarakat adat dengan mudah dilakukan karena tiap daerah masih berjalan sendiri-sendiri,” kata Hengky.

Menurut Hengky, dalam era kepemimpinan Presiden SBY dan Jokowi, sebenarnya ada banyak regulasi yang memberikan harapan bagi pembangunan ekonomi di Papua, salah satunya perkebunan sawit.

“Hanya saja, pembangunan kebun sawit yang targetnya mencapai 2,2 juta hektar, baru terealisasi 1 persen dengan mudah diprovokasi kepentingan kelompok karena Pemerintah belum sepenuhnya hadir,” kata Henky.

Bila pemerintah konsisten, kata Hengky, seharusnya sektor perkebunan sawit dan pertanian bisa menjadi satu-satu pilihan dalam membangun ekonomi Papua secara berkelanjutan.

“Apalagi, saat ini sektor berbasis sumber daya alam seperti pertambangan di Papua bukan lagi menjadi pilihan karena tidak ramah lingkungan,” kata Hengky.

Sementara itu, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono mengatakan pemerintah terus mendorong kemitraan inti plasma, kemitraan antara usaha kecil dan menengah atau besar di semua provinsi termasuk Papua.

Karena itu, kata Kasdi, perlu dukungan fasilitas pendanaan BPDP-KS untuk mendorong perkembangan sawit di Papua. “Papua dilirik karena menarik. Ini kesempatan baik untuk mengangkat Papua yang berada di wilayah timur Indonesia sebagai bagian penting dari pertumbuhan ekonomi Indonesia," tutup dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Viral Berita Eksploitasi Pekerja Perempuan di Perkebunan Sawit RI, GAPKI Buka Suara

20160308-Ilustrasi-Kelapa-Sawit-iStockphoto
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Kampanye hitam terhadap industri sawit Indonesia kembali marak. Setelah isu kebakaran lahan, sejumlah LSM asing dengan dukungan sejumlah media barat mendiskreditkan industri sawit dengan isu eksploitasi pekerja perempuan. Sebuah tuduhan yang tidak didasari fakta-fakta objektif di lapangan.

“Perusahaan sawit di Indonesia, terutama yang menjadi anggota GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), tidak mungkin melakukan praktik ketenagakerjaan yang melanggar Undang-Undang dan prinsip serta kriteria di dalam ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil),” kata Sumarjono Saragih, Ketua Bidang Ketenagakerjaan GAPKI, dalam keterangannya kepada media di Jakarta, Kamis (19/11/2020).

Sumarjono memastikan industri sawit Indonesia sudah mampu menciptakan iklim kerja yang kondusif dan layak bagi para pekerjanya.

Bahkan, GAPKI telah bekerjasama dengan ILO (Organisasi PBB untuk urusan Pekerja) dan sejumlah LSM Internasional untuk membangun sistem ketenagakerjaan yang layak (decent work) di sektor perkebunan kelapa sawit.

“Berita yang awalnya di-viralkan oleh kantor berita  Amerika Serikat yaitu AP (Associated Press) tersebut sangat bias, tendensius, dan tidak memenuhi asas both side coverage,” katanya.

Sejak pandemi covid-19 yang terjadi pada Maret 2020, perusahaan-perusahaan sawit anggota GAPKI melaksanakan protokol kesehatan yang ketat dimana akses keluar masuk ke dalam kebun dibatasi.

Jika wartawan kantor berita AP benar-benar terjun ke lapangan, apakah benar mereka masuk ke dalam kebun perusahaan mengingat akses yang terbatas sejak pandemi covid-19.

“Seandainya wartawan AP masuk ke dalam kebun perusahaan sawit anggota GAPKI, mereka pasti akan mendapatkan fakta lapangan yang lebih objektif,” terangnya.

Dia menyebut perusahaan-perusahaan anggota GAPKI tunduk dan conply dengan semua peraturan sesuai UU Ketenagakerjaan. Bahkan, GAPKI menargetkan sampai akhir 2020 ini, semua anggota GAPKI telah bersertifikasi ISPO.

“Kalau sudah ISPO, kan sudah tidak ada lagi isu-isu terkait tenaga kerja. Karena kalau ada pelanggaran, tidak mungkin mendapatkan sertifikat ISPO,” katanya.

Sumarjono meyakini, viralnya berita mengenai eksploitasi pekerja wanita di perkebunan sawit ini adalah bagian dari perang dagang dalam pasar minyak nabati dunia. Ketika berbagai komoditas minyak nabati non sawit tidak bisa lagi bersaing dengan minyak sawit, negara-negara maju melakukan kampanye negatif untuk merusak reputasi.

“Harapan mereka bisa memutus  rantai pasok dari sisi buyer minyak sawit dan juga end customers dengan mem-viralkan isu-isu negatif,” pungkasnya.     

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya