Liputan6.com, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020. Dalam ringkasan eksekutif yang dirilis, BPK mengkhawatirkan utang pemerintah Indonesia yang sudah mencapai lebih dari Rp 6.000 triliun.
Tercatat, jumlah utang yang gigantik ini melebihi rekomendasi rasio utang dari International Debt Relief (IDR) dan International Moneter Fund (IMF).
Baca Juga
Dalam penjelasan hasil revisi atas kesinambungan fiskal, BPK mengatakan pandemi Covid-19 meningkatkan defisit, utang dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal.
Advertisement
"Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," jelas BPK, dikutip Liputan6.com, Rabu (23/6/2021).
Secara rinci, BPK menyebutkan rasio utang Indonesia melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan atau IDR, yaitu rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 hingga 35 persen.
Kemudian, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melebih rekomendasi IDR 4,6 hingga 6,8 persen dan rekomendasi IMF 7 hingga 10 persen.
"Rasio utang terhadap penerimaan tercatat sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 hingga 167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90 hingga 150 persen," tulis BPK.
Adapun saat ini, utang pemerintah tercatat mencapai Rp 6.527,29 triliun atau sekitar 41,18 persen terhadap PDB.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pemerintah Pastikan kelola Utang Secara Hati-Hati
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu memastikan bahwa pemerintah terus menjaga utang dalam batas aman. Utang akan dikelola secara hati-hati dan makin efisien.
Febrio mengakui bahwa pembiayaan utang pemerintah mengalami peningkatan signifikan sejak 2020. Peningkatan tersebut seiring dengan langkah fiskal untuk menangani pandemi covid-19 dan mendorong pemulihan ekonomi nasional.
"Ke depan, kami harus terus mengendalikan utang secara fleksibel dan penuh kehati-hatian," katanya dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI, Rabu (16/6/2021).
Di samping itu, kebijakan fiskal yang extraordinary juga menyebabkan implikasi pada defisit APBN yang harus melebar hingga 6,09 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, pemerintah akan mengembalikan defisit APBN ke bawah 3 persen PDB seperti amanat UU 2/2020.
Febrio mengatakan pandemi Covid-19 menyebabkan rasio utang melonjak dari 30,2 persen terhadap PDB pada 2019 menjadi 39,4 persen PDB pada 2020. Sementara tahun ini, rasio utang diprediksi mencapai 41,1 persen dari PDB.
“Ke depan kita harus mengendalikan utang secara fleksibel dan penuh kehati-hatian kita jaga rasio utang dalam batas aman yakni 43,76 persen hingga 44,28 persen terhadap PDB,” tuturnya.
Dia melajutkan pemerintah akan meningkatkan efisiensi dari biaya utang, mendorong pendalaman pasar, memperluas basis investor, serta mendorong penerbitan obligasi atau sukuk daerah. Secara bersamaan, pemerintah juga akan menggunakan utang sebagai instrumen menjaga keseimbangan melalui komposisi portofolio utang yang optimal untuk menjaga stabilitas makroekonomi.
“Utang sebagai industrumen ini untuk menjaga keseimbangan melalui komposisi portofolio utang yang optimal untuk menjaga stabilitas makroekonomi kita," jelas dia.
Advertisement
Tembus Rp 6.527 Triliun, Lampu Merah Utang Pemerintah
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai utang pemerintah yang mencapai Rp 6.527,29 triliun sudah berada dalam kategori 'lampu merah'. Hal ini dilihat berdasarkan risiko dari utang tersebut.
Menurut Bhima, terdapat beberapa cara untuk melihat risiko utang. Pertama, kemampuan membayar utang pemerintah dilihat dari perbandingan antara beban bunga utang dibagi dengan penerimaan pajak. Berdasarkan data APBN 2021, rasio antara beban bunga utang sudah mencapai 25 persen dari target penerimaan pajak.
"Ini menandakan porsi bunga utang sudah terlampau membebani anggaran. Apalagi ditengah rasio pajak yang terus menurun diperkirakan hanya 8-8,1 persen pada 2021. Tentu ini sudah lampu merah harusnya," kata Bhima kepada Liputan6.com pada Selasa (8/6/2021).
Kedua, kemampuan membayar utang luar negeri bisa dilihat dari indikator Debt Service Ratio atau DSR. Rasio ini untuk mengukur porsi utang luar negeri terhadap sumber-sumber penerimaan valas.
Tercatat dari data BI, DSR per data Mei 2021 meningkat menjadi 23,5 persen lebih tinggi dibandingkan posisi 2014 yakni 18,3 persen. Dalam kurun waktu 8 tahun terakhir terjadi ketidaseimbangan antara kemampuan penerbitan utang luar negeri baru dengan penerimaan dari sisi ekspor, dan devisa lainnya.
Ketiga, kata Bhima, kekhawatiran risiko penerbitan utang sejalan dengan adanya taper tantrum dalam waktu dekat. Taper tantrum membuat investor melepaskan kepemilikan surat utang negara berkembang dan memilih aset yang aman.
"Kondisi 2013 bisa terjadi dan membuat pemerintah semakin sulit menerbitkan surat utang ke pasar," tuturnya.
Keempat, ekses penerbitan surat utang dapat menyebabkan crowding out effect. Investasi swasta ke sektor riil dapat terganggu karena imbal hasil yang ditawarkan surat utang pemerintah lebih menarik dibandingkan berinvestasi secara riil.
"Soal rasio utang pemerintah, perkiraan saya sebentar lagi akan menembus level 60 persen dari PDB kalau situasi penerbitan utang terus berlanjut," jelas Bhima.
Hal yang ditakutkan, menurut Bhima, adalah pemerintah akan kembali merevisi UU Keuangan 2003 dengan melebarkan batas rasio utang 60 persen dari PDB yang selama ini dijadikan rambu risiko utang.
Utang Pemerintah Tembus Rp 6.527,29 Triliun per April 2021
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah hingga April 2021 berada di angka Rp6.527,29 triliun. Posisi utang ini setara dengan 41,18 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Dikutip dari Buku APBN Kita edisi Mei 2021, utang pemerintah ini masih didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 86,74 persen dan pinjaman sebesar 13,26 persen.
Secara rinci, utang dari SBN tercatat Rp5.661,54 triliun yang terdiri dari SBN domestik Rp4.392,96 triliun dan valas Rp1.268,58 triliun.
Sedangkan utang melalui pinjaman tercatat Rp865,74 triliun. Pinjaman ini terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp12,32 triliun dan pinjaman luar negeri Rp853,42 triliun.
Adapun utang dari pinjaman luar negeri ini terdiri dari pinjaman bilateral Rp328,59 triliun, pinjaman multilateral Rp480,81 triliun dan pinjaman dari commercial banks Rp44,02 triliun.
Advertisement