Kinerja Perbankan Tetap Moncer Berkat Banjir Stimulus

Kemenkeu menilai kinerja dan daya tahan industri perbankan di masa pandemi Covid-19 masih tetap moncer.

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Agu 2021, 10:30 WIB
Diterbitkan 30 Agu 2021, 10:30 WIB
Ilustrasi bank
Ilustrasi bank (Sumber: Istockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Kinerja dan daya tahan industri perbankan di masa pandemi Covid-19 dinilai masih tetap moncer. Bahkan aset perbankan tetap tumbuh didorong oleh program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan Kemenkeu, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Tenaga Ahli Menteri Keuangan bidang Jasa Keuangan, Mirza Adityaswara menceritakan, pada awal masa pandemi Covid-19, pemerintah mengaku khawatir kalau industri perbankan akan terdampak pandemi Covid-19. Hal ini wajar mengingat industri perbankan punya peran sentral dalam perekonomian nasional.

Menurutnya, untuk mengantisipasi terhadap kemungkinan terburuk, sebagai respon awal pada Maret 2020 pemerintah menerbitkan PP Nomor 1 tahun 2020 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 2 tahun 2020.

"Melalui kerangka UU tersebut, Kemenkeu memperkuat koordinasi dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk mengantisipasi potensi pemburukan sektor riil yang berisiko menjalar ke sektor keuangan. Melalui instrumen fiskal, Kemenkeu mengambil langkah-langkah darurat dalam bentuk kebijakan coutercyclical untuk mengatasi dan mitigasi dampak Covid-19," ujar Mirza di Jakarta, Senin (30/8).

Untuk dukungan dunia usaha, lanjut Mirza, Kemenkeu bersama-sama OJK, BI dan LPS telah berkordinasi dan bersinergi guna mendukung akselerasi PEN khususnya dari sisi dukungan pembiayaan dan penguatan likuiditas sektor usaha.

Dia menjelaskan, Kemenkeu melalui instrumen APBN telah meluncurkan kebijakan risk sharing penjaminan kredit, penempatan dana di perbankan, dan subsidi bunga UMKM. Sementara itu BI menurunkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate hingga 125 bps, menurunkan Giro Wajib Minimum dari 4,5 persen menjadi 3,5 persen, kenaikan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM), serta pelonggaran Loan to Value (LTV).

OJK sendiri memberikan relaksasi restrukturisasi kredit, perhitungan aset tertimbang menurut risiko dan mendorong suku bunga rendah. Sedangkan LPS melakukan relaksasi pembayaran denda keterlambatan atas premi penjaminan.

"Berbagai kebijakan tersebut diyakini cukup efektif menjaga resilience perbankan kita dalam mnghadapi tekanan. Likuiditas perbankan yang pada awalnya dikhawatirkan mengalami permasalahan dan flight to quality antar bank, hingga saat ini masih dapat dimanage dengan baik bahkan likuiditas perbankan kita sangat ample, sangat melimpah dan sangat cukup," jelas Mirza.

Hal ini, lanjut dia, terlihat dari rasio Alat Likuid terhadap Non Core Deposit (AL/NCD) pada akhir juni 2021 mencapai 151,2 persen dan rasio pinjaman terhadap simpanan atau Loan to Deposit Ratio (LDR) yang mencapai 80,1 persen.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Laba Bersih

Ilustrasi Bank
Ilustrasi Bank

Dari sisi profitabilitas, laba bersih perbankan per juni 2021 masih tumbuh 7,9 persen dengan Net Interest Margin (NIM) 4,56 persen. Kemudian dari sisi permodalan, Capital Adequacy Ratio (CAR) industri perbankan pada Juni 2021 mencapai 24,3 persen, jauh meningkat dari posisi Maret 2020 yang hanya 21,6 persen.

Kinerja ini juga tidak terlepas dari rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) yang relatif rendah walaupun mengalami peningkatan di tengah pandemi Covid-19. Tercatat NPL gross Juni 2021 sebesar 3,24 persen, sementara pada Maret 2020 sebesar 2,77 persen.

"Kami dari sisi pemerintah patut bersyukur dengan kondisi perbankan yang relatif resilience menghadapi pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir 1,5 tahun," ujarnya.

Namun Mirza mengingatkan, tidak boleh berpuas diri dengan perkembangan perbankan saat ini. perlu diingat pandemi Covid-19 masih memiliki tingkat ketidakpastian (uncertainty) yang tinggi dan belum bisa diperkirakan kapan akan selesai meski program vaksinasi terus berjalan.

"Berbagai potensi risiko sekecil apapun terus kami identifikasi dan monitor sehingga dapar segera diantisipasi dan mitigasi dampaknya bila risiko itu benar-benar terjadi," tukasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya