Liputan6.com, Jakarta - Kasus gagal bayar Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera dinilai harus segera diselesaikan untuk menyelematkan industri asuransi. Salah satunya dengan segera membentuk Badan Perwakilan Anggota (BPA) selaku perwakilan pemegang polis.
Direktur Riset Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengatakan untuk mengatasi permasalahan kekosongan BPA, OJK memfasilitasi pertemuan antara manajemen AJB Bumiputera dengan perwakilan beberpa perkumpulan pemilik polis, asosiasi agen, dan Serikat Pekerja (SP) NIBA pada 6 Maret 2021. Dalam pertemuan tersebut disepekatai antara lain direksi akan mengajukan penetapan Panitia Pemilihan BPA melalui pengadilan.
Keputusan pengadilan terkait panitia pemilihan BPA ini akan dibacakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta pada Rabu 1 September 2021.
Advertisement
"Kita berharap besok Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan untuk mengambulkan pembentukan panitia pembentukan BPA, karena tanpa itu kita akan terus menunggu penyelesaian di Bumiputera tidak akan selesai. Kita akan bisa menyelesaikannya kalau BPA sudah terbentuk dan pengurusnya sudah terbentuk," jelas Piter dalam webinar iDEATE: Memahami Peran OJK dalam Penyelesaian AJB Bumiputera pada Selasa (31/9/2021).
Pembentukan BPA dan pengurus yang profesional dan bertanggungjawab disebut akan memberikan kesemapatan kepada Bumiputera untuk memenuhi semua kewajiban kepada para pemegang polis. Bumiputera nantibisa bisa mulai bergera kembali secara sehat, mengumpulkan kembali pemegang polis baru, menginvestasikan uangnya dan diputar secara sehat untuk menghasilkan keuntungan.
Langkah awal untuk mewujudkannya adalah dengan membentuk pengurus atau pengelola Bumiputera melalui pembentukan BPA.
"Karena BPA ini adalah segalanya. BPA ini adalah lembaga tertingi di Bumiputera, representasi dari para pemilik Bumiputera yaitu para pemilik polis," ungkapnya.
Dijelaskan Piter, berbeda dengan Jiwasraya, Bumiputera adalah perusahaan swasta murni dengan bentuk badan hukum usaha bersama. Pemilik polis adalah pemilik Bumiputera.
Sehingga ketika perusahaan mengalami kerugian, seluruh pemilik polis harus menanggung kerugian tersebut. Pemilik polis, menurut Piter, tidak bisa berharap pemerintah menalangi (bail out) seluruh kerugiannya.
Piter mengatakan pemilik polis tidak bisa menyalahkan regulator karena masalah Bumiputera yang tak kunjung usai. Kunci penyelesaian permasalahan ada di pengelola perusahaan. Regulator, dalam hal ini OJK, hanya bisa membantu dan memfasilitasi.
Bumiputera sebelumnya sudah memiliki BPA. Namun belajar dari fakta bahwa gagalnya program penyehatan perusahaan selama ini disebabkan oleh intervensi BPA, OJK melalui empat kali perintah tertulis meminta BPA untuk lebih independen dan tidak mencampuri pengelolaan Bumiputera, serta segera mengambil tindakan mengakui kerugian yang dialami.
Â
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Awal Kasus Bumiputera
Diceritakan Piter, kasus ini bermula pada 1997 ketika AJB Bumiputera mengalami kerugian dengan defisit Rp 2,07 triliun. Regulator kala itu meminta BPA tidak mengintervensi dalam pengelolaan perusahaan.
Kemudian pada periode 2002, defisit membengkak menjadi Rp 2,94 triliun. Pada waktu itu, regulator memutuskan untuk menyelamatkan kondisi kesehatan AJB Bumiputera karena khawatir dampak sistemik.
Defisit kian melebar jauh pada 2010 menjadi Rp 7,45 triliun, dan membengkak menjadi Rp 11,99 triliun pada 2014.
OJK pada 2014 lantas menyiapkan tiga opsi untuk AJB Bumiputera yaitu haircut kewajiban, pencabutan izin usaha, dan penyehatan. Pada 2014, OJK memilih opsi penyehatan degan menunjuk Pengelola Statuter (PS) dan mengirim perintah tertulis melarang BPA mencampuri tugas PS.
"Kalau dari catatan ini, BPA selalu masuk ke dalam pengelolaan operasional Bumiputera. Hal itu menyebabkan berbagai program kesehatan sangat sulit dilakukan untuk menyehatkan keuangan Bumiputera," tutur Piter.
Kemudian pada 2016, Bumiputera belum juga membaik dengan defisit naik menjadi Rp 18,5 triliun, dan pada 2018 hingga saat ini tercatat defisit mencapai Rp 20,9 triliun.
Surat perintah tertulis dari OJK, kata Piter menjadi awal "pembangkangan" BPA terhadap OJK. BPA kemudian tidak memberikan dukungan yang cukup terhadap upaya-upaya penyehatan keuangan Bumiputera. Akibatnya seluruh program penyelesaian Bumiputera gagal.
Advertisement