Kritik Aktivis: Subsidi Bahan Bakar Fosil Lebih Besar dari Pembiayaan Iklim

Sejumlah aktivis lingkungan menuntut negara kaya di COP26 untuk melunasi utang pembiayaan iklim.

oleh Arief Rahman H diperbarui 03 Nov 2021, 19:30 WIB
Diterbitkan 03 Nov 2021, 19:30 WIB
6 Istilah tentang Perubahan Iklim dan COP26 yang Perlu Diketahui
Ilustrasi seruan untuk mengatasi perubahan iklim. (dok. Markus Spiske/Unsplash.com)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah aktivis lingkungan menuntut negara kaya di COP26 untuk melunasi utang pembiayaan iklim. Bahkan, dalam keterangannya, disebutkan biaya subsidi untuk bahan bakar fosil lebih besar dari angka pembiayaan iklim tersebut.

Muhammad Reza Sahib dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air menyebut hingga saat ini subsidi publik untuk bahan bakar fosil berkali lipat lebih besar dari pembiayaan iklim.

“Pemerintah G7 menyediakan setidaknya USD 200 miliar untuk mendukung bahan bakar fosil dari 2020-2021,” katanya dalam keterangan resmi, Rabu (3/11/2021).

Ia juga menyebut, pemerintah dari negara anggota G20 dan lembaga keuangan publik masih mendukung bahan bakar fosil dalam jumlah besar. Setidaknya, USD 63 miliar per tahun dalam proyek minyak, gas, dan batubara.

“Ini adalah 2,5 kali lebih besar dari USD 26 miliar per tahun untuk mendukung energi terbarukan pada periode yang sama, dan beberapa kali lebih besar  dari pendanaan iklim yang diberikan oleh negara-negara maju di antara G20,” tuturnya.

Reza menilai, janji untuk Dana Iklim Hijau, mekanisme keuangan utama di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), tetap pada rata-rata yang sangat rendah. Atau sebesar USD 10 miliar setiap tiga tahun bahkan setelah tujuh tahun beroperasi penuh.

Reza menambahkan pendanaan untuk adaptasi juga telah diabaikan, dengan hanya USD 1 miliar janji yang dimobilisasi untuk Dana Adaptasi dalam 14 tahun operasinya.

“Apa yang kami inginkan dari COP26 adalah komitmen nyata untuk mengakhiri subsidi publik untuk bahan bakar fosil dan meningkatkan pendanaan publik baru dan tambahan tanpa utang untuk adaptasi dan kerugian dan kerusakan di negara-negara berkembang,” tuturnya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tagih Utang Iklim

Hadapi Global Warming, Mesin Penghisap Emisi Karbon Kini Dibangun
Emisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. (Pixabay)

Aktivis keadilan iklim di sejumlah negara menantang pemerintah negara kaya yang hadir di KTT COP26 untuk melunasi utang untuk pembiayaan iklim yang dinilai jauh dari yang dijanjikan sebesar USD 100 miliar pertahun. Di Indonesia, protes ketidakadlian iklim dilakukan di Kedutaan Besar Inggris Raya di Jakarta, Rabu (3/11/2021).

Muhammad Reza Sahib dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air dalam keterangannya menyebut bahwa negara-negara kaya yang hadri dalam konferensi tersebut telah berutang triliunan dolar dalam pendanaan iklim ke negara-negara selatan. Ia menilai, USD 100 miliar yang dijanjikan setiap tahunnya mulai 2020 hanyalah sebagian kecil dari kewajiban penuh negara tersebut.

“Kami berpandangan bahwa negara-negara peng-emisi terbesar emisi karbon seharusnya tidak hanya memenuhi janji kolektif USD 100 miliar, tetapi juga sepenuhnya memenuhi utang iklim mereka,” kata dia, dikutip Rabu (3/11/2021).

Reza mengatakan kebutuhan pendanaan iklim negara-negara berkembang untuk kerugian dan kerusakan dampak perubahan iklim yang tidak dapat dihindari diperkirakan akan mencapai USD 1,2 triliun per tahun pada tahun 2060. Sehingga ia menilai pendanaan iklim adalah kewajiban oleh sebagian besar negara anggota G20 berdasarkan andil besar mereka dalam emisi historis dan terus berlangsung, oleh karena itu menjadi tanggung jawab merekalah atas krisis iklim.

“20 negara ekonomi terkaya di dunia menyumbang 80 persen emisi CO2 global dan bertanggung jawab atas krisis iklim yang sedang diderita warga dunia,” kata dia.

Mengacu pada Laporan Transparansi Iklim, emisi karbon dari 20 negara terkaya di dunia meningkat pesat pada tahun 2021 karena terus menggunakan bahan bakar fosil. Laporan Kesenjangan Emisi terbaru menunjukkan dunia berada di jalur untuk menghangat sekitar 2,7 derajat Celcius dan rencana nasional untuk mengurangi emisi karbon jauh dari apa yang dibutuhkan untuk mencegah bencana iklim.

Atas dasar itu, Reza menyebut orang-orang di belahan Selatan Dunia terus menderita akibat dampak krisis iklim. Dampak ini diperkirakan akan terus berlanjut dan memburuk di tahun-tahun mendatang.

“Banyak dari perubahan yang tidak dapat dicegah. Sekarang saatnya bagi negara-negara maju untuk memberikan pendanaan iklim untuk menutupi biaya adaptasi serta kerugian dan kerusakan di negara-negara berkembang. Pendanaan iklim sangat dibutuhkan sekarang,” paparnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya