Gara-Gara UU Minerba, 70 Persen Bahan Bangunan Berasal dari Tambang Ilegal

Undang-Undang Mineral dan Batu bara (UU Minerba) mengundang pandangan dari berbagai kalangan masyarakat.

oleh Arief Rahman H diperbarui 06 Feb 2022, 20:00 WIB
Diterbitkan 06 Feb 2022, 20:00 WIB
Melihat Progres Pembangunan LRT yang Mundur Hingga Juni 2022
Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan Light Rail Transit (LRT) Jabodebek di ruas Jalan Rasuna Said, Jakarta, Jumat (7/8/2020). PT Adhi Karya akan memprioritaskan pengerjaan proyek infrastruktur berlabel proyek strategis nasional (PSN) di tengah pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Jakarta Undang-Undang Mineral dan Batu bara (UU Minerba) mengundang pandangan dari berbagai kalangan masyarakat. Malah, pasca disepakatinya UU Minerba pada 12 Mei 2020 lalu oleh DPR RI mengundang munculnya penambangan ilegal.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, pasca disepakatinya UU Nomor 3 Tahun 2020 itu banyak material yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur berasal dari tambang ilegal.

“Hampir dapat dipastikan sejak UU Minerba nomor 3 Tahun 2020 disetujui DPR RI pada 12 Mei 2020 hingga saat ini ada sekitar 70 persen material bangunan berupa sirtu (pasir dan batu) serta tanah urug untuk kebutuhan  proyek pembangunan fisik  infrastruktur pemerintah dan swasta berasal dari penambangan tanah ilegal,” kata dia dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Minggu (6/2/2022).

Ia menduga maraknya penambangan ilegal ini sebab adanya kebutuhan besar dari kegiatan proyek strategis nasional (PSN). Namun, hal ini belum dikawal oleh kemudahan memperoleh izin akibat regulasi yang ada, sehingga, kata dia, rawan jadi ladang peraup cuan dari oknum aparat penegak hukum.

“Material ilegal itu dipasok dan digunakan untuk kebutuhan pembangunan jalan tol, proyek bendungan, gedung perkantoran, pembangunan kawasan perumahan, pelabuhan laut dan udara serta lainnya, termasuk digunakan untuk kegiatan operasi migas, yaitu tanah urug untuk kebutuhan lokasi tapak bor (well pad),” terangnya.

Sementara itu, 30 persen pasokan material legal berasal dari Izin Usaha pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) yang waktunya masih berlaku, ini dipandang sisa dari produk UU Minerba nomor 4 tahun 2009. Dengan adanya hal ini, Yusri menduga produk UU Minerba yang sejak awal kontroversi ini hanya menguntungkan sebagian golongan.

“Ditengarai hanya untuk menyelamatkan para taipan batubara pemilik tambang PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) daripada membenahi tata kelola berkelanjutan pertambangan nasional,” katanya.

Bahkan, kata Yusri, Koalisi Masyarakat Peduli Pengelolaan Sumber Daya Alam menduga kebijakan itu berpotensi merugikan rakyat dan lingkungan hidup serta penerimaan negara dan pajak daerah penghasil.

“Contoh nyata dan kasat mata akibat lain nya kita menyaksikan bersama ketika PLN mengalami krisis pasokan batubara sebagai energi primernya karena pelanggaran DMO oleh produsen batubara nasional,” katanya.

Yusri menambahkan meski ketua komisi VII DPR RI saat itu mengatakan perubahan UU Minerba ini tujuannya untuk menyesuaikan dengan UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Yakni pertama soal kewenangan pengelolaan minerba, kedua soal penyesuaian nomenklatur perizinan dan ketiga soal divestasi saham.

“Namun, faktanya kita bisa menyaksikan saat ini banyak penyimpangan telah terjadi,” katanya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Gara-Gara UU Minerba

FOTO: Aksi Teatrikal Tolak Revisi UU Minerba
Demonstran melakukan aksi teatrikal saat unjuk rasa di kawasan Bundaran Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta, Senin (21/6/2021). Aksi yang dilakukan bertepatan dengan ulang tahun Presiden Joko Widodo ini sebagai bentuk kecaman dan penolakan terhadap revisi UU Minerba. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lebih lanjut, Yusri menegaskan sengkarut material ilegal yang masuk jadi perhatiannya ini disebabkan berlakunya UU Minerba terbaru. Dalam aturan ini mencabut kewenangan daerah dari Gubernur dan Bupati atau Walikota yang boleh menerbitkan izin pertambangan rakyat. Termasuk melakukan pembinaan dan pengawasan.

“Konyolnya lagi, izin pertambangan rakyat luasnya yang 1 (satu) hektar pun yang berada jauh di pelosok desa yang dulu bisa dilaksanakan atas  cukup dengan izin dari Camat setelah mendapat delegasi kewenangan dari Bupati atau Walikota,” katanya.

“sekarang harus dengan mengurus izin pertambangan ke Jakarta, karena izinnya diterbitkan oleh Menteri ESDM  atau melalui Menteri Investasi dan Kepala BKPM,” imbuh dia.

Kemudian, kata dia, Menteri ESDM baru saja mengusulkan WPN (Wilayah Pertambangan Nasional) dari 10 propinsi kepada DPR RI Komisi VII pada 13 Januari 2022 untuk ditetapkan. Ia menilai ini menjadi dasar Menteri ESDM bisa memberikan izin pertambangan minerba.

“Akibat adanya penerbitan izin baru sebelum WPN ditetapkan patut dipersoalkan legalitasnya,” katanya.

“Meskipun secara teoritis pengurusan izin berbasis resiko itu bisa dilakukan dengan sistem OSS (Online Singel Submission), namun dalam prakteknya SIPB (Surat Izin Pertambangan Batuan) susah diperoleh oleh rakyat kecil jika tak punya hubungan khusus dengan jajaran pemberi izin,” imbuh Yusri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya