UMKM dan Koperasi Boleh Kelola, Industri Tambang Makin Rusak?

Pengamat menilai UU Minerba yang baru hanya menjadikan UMKM dan koperasi sebagai "label" untuk menutupi kelemahan aturan tersebut tanpa memberikan manfaat nyata bagi industri tambang.

oleh Tira Santia Diperbarui 24 Feb 2025, 15:00 WIB
Diterbitkan 24 Feb 2025, 15:00 WIB
Tolak Tambang Batu Bara, Aktivis Iklim di Jerman Bentrok dengan Polisi
Matahari terbit di belakang ekskavator di tambang batu bara Garzweiler dekat Desa Luetzerath, Erkelenz, Jerman, 10 Januari 2023. Desa Luetzerath harus dibongkar untuk memperluas tambang batu bara di dekat perbatasan Belanda tersebut. (AP Photo/Michael Probst)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Pengamat tambang dan energi, Ferdy Hasiman, menilai bahwa revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang baru hanya menjadikan UMKM dan koperasi sebagai "label" untuk menutupi kelemahan aturan tersebut tanpa memberikan manfaat nyata bagi industri tambang.

"UMKM dan koperasi hanya dijadikan label untuk menutupi kelemahan undang-undang ini. Tidak ada hal positif dari revisi tersebut karena lebih mengakomodasi kepentingan ormas," ujar Ferdy kepada Liputan6.com, Senin (24/2/2025).

Ia menilai bahwa UU Minerba yang baru tidak memberikan dampak positif bagi sektor tambang. Sebaliknya, ia menekankan pentingnya regulasi inovatif yang mampu mendorong perkembangan industri tambang secara berkelanjutan.

"Revisi ini seharusnya memberikan manfaat nyata. Namun, menurut kami, undang-undang yang direvisi ini tidak memiliki dampak positif bagi industri tambang," ujarnya.

Kurangnya Kebijakan Hilirisasi

Dalam hal hilirisasi, banyak perusahaan tambang telah membangun pabrik smelter untuk mengolah hasil tambang seperti tembaga, bauksit, dan nikel.

Namun, Ferdy menyoroti kurangnya kebijakan yang mendukung penyerapan produk olahan di dalam negeri, yang akhirnya mendorong peningkatan ekspor bahan mentah.

"Industri tambang seharusnya mendapatkan regulasi yang inovatif agar mereka dapat berkembang dengan baik," katanya.

Ia juga menyoroti pentingnya keberlanjutan industri tambang, termasuk aspek reklamasi pascatambang yang perlu diperjelas dalam UU Minerba.

"Harus ada aturan yang memastikan reklamasi pascatambang menjadi bagian dari undang-undang. Selain itu, bagaimana industri tambang bisa berkontribusi lebih besar, terutama dalam kondisi defisit APBN seperti sekarang," jelasnya.

 

UMKM dan Koperasi Tak Memiliki Kapasitas untuk Mengelola Tambang

Tambang Batubara
Pertambangan batu bara di Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. (Liputan6.com/ Abelda Gunawan)... Selengkapnya

Menurut Ferdy, jika industri tambang dikelola oleh ormas atau pihak yang tidak memiliki kapasitas, maka kontribusinya terhadap perekonomian negara akan minim. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumber daya untuk mengelola tambang secara optimal.

Ia menegaskan bahwa UMKM dan koperasi belum memiliki kapasitas, teknologi, maupun investasi yang memadai untuk mengelola tambang. Keberadaan mereka di industri ini lebih berisiko merusak daripada memberikan kontribusi positif.

"Kalau dikelola oleh ormas, kontribusinya kecil karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk mengelola tambang," ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyoroti ketidakseimbangan antara kekuatan asing dan pengelolaan tambang dalam negeri. Meskipun ada wacana membatasi dominasi asing, faktanya, industri tambang Indonesia, khususnya nikel, sudah dikuasai oleh perusahaan besar dengan hampir 60% sahamnya dimiliki oleh investor asing.

 

Revisi UU Minerba Berpotensi Memicu Korupsi

Operasi tambang batu bara PT Adaro Indonesia (Foto: laman PT Adaro Energy Indonesia Tbk/ADRO)
Operasi tambang batu bara PT Adaro Indonesia (Foto: laman PT Adaro Energy Indonesia Tbk/ADRO)... Selengkapnya

Ferdy menilai bahwa revisi UU Minerba lebih berorientasi pada kepentingan politik dibandingkan pembangunan industri tambang.

"Ketika kepentingan politik lebih dominan, industri kita justru semakin rusak. Negara ini bukan semakin diperbaiki, tetapi semakin terpuruk hanya demi kepentingan kekuasaan," katanya.

Ia juga mengkritik revisi undang-undang ini karena dinilai membuka ruang lebih luas bagi praktik korupsi di sektor tambang.

"Pemerintah akan memastikan semuanya berjalan sesuai kepentingan mereka. Ruang korupsi dalam regulasi ini sangat besar," ujarnya.

Sebagai langkah pencegahan, ia menyarankan agar masyarakat sipil lebih aktif dalam mengawasi implementasi undang-undang ini agar tidak terjadi penyalahgunaan, terutama dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tanpa proses lelang yang transparan.

"Masyarakat sipil harus lebih aktif memonitor. Jangan sampai terjadi praktik korupsi, misalnya penerbitan IUP tanpa lelang yang transparan. Itu sudah jelas merupakan bentuk penyimpangan," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya